Politik Ilmu, Politik Pembangunan

Siapa pun yang memegang teguh kepercayaan akan ‘kesucian’ ilmu pengetahuan mungkin tidak akan setuju dengan apa yang saya sebut dengan politik ilmu. Kesucian yang saya maksud adalah peran-peran filosofis dan kurang pragmatis dari ilmu pengetahuan dalam konteks individual maupun sosial; seperti bagaimana ilmu pengetahuan menumbuhkan dan menajamkan kebijaksanaan manusia sebagai makhluk hidup paling beradab dalam relasi rantai makanan, atau juga bagaimana ilmu pengetahuan menjadi batu bata pembangun kehidupan masyarakat yang humanis dan penuh kedamaian.

Mempercayai kesucian ilmu pengetahuan bukanlah hal yang sepenuhnya salah, karena pada beberapa titik ada unsur-unsur kebenaran juga di sana. Namun untuk menolak mentah-mentah bahwa apa yang disebut dengan ‘perkembangan ilmu pengetahuan’ itu terjadi dalam gelombang-gelombang yang ritmis dan harmonis adalah suatu kecelakaan. Hal tersebut akan menjauhkan kita dari cara pandang yang lebih kritis terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, ilmu pengetahuan apa yang kita ketahui, bagaimana kita mengetahuinya dan mengapa ilmu pengetahuan X yang kita ketahui dan bukan ilmu pengetahuan Y.

Contoh gambarannya seperti bagaimana kita bisa menguasai atau paling tidak memahami bahasa Inggris, dan mengapa bahasa Inggris-lah yang kita ketahui dan kenal dengan akrab, bukan bahasa Nggem yang digunakan oleh suku Winya di Jayawijaya. Bukankah secara geografis Papua merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sementara Inggris berada di belahan benua lain? Di sinilah politik ilmu itu bermain.

Terdapat begitu banyak hal yang memengaruhi terbentuknya politik ilmu pengetahuan, yang sejumlah di antaranya bisa kita temukan dalam tulisan-tulisan Soedjatmoko yang membahas tentang ilmu dan pendidikan. Narasi politik ilmu pengetahuan yang terbaca dari cara Soedjatmoko memandang dan menilai ilmu pengetahuan berkaitan erat paling tidak dengan dua hal, yakni posisi Indonesia di jaringan internasional dan identitas Indonesia yang ditentukan oleh kebijakan dalam negeri.

Perihal yang pertama sudah menjadi perhatian Soedjatmoko sejak ia diberi mandat oleh Perdana Menteri Syahrir untuk menjadi delegasi pemerhati Indonesia di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah proklamasi kemerdekaan. Pada saat itu, Indonesia sedang kembali menghadapi gempuran militer Belanda yang tidak mengizinkan negara jajahannya mentas dari belenggu kolonialisme. Pada satu kesempatan di penghujung dekade 1940-an, Soedjatmoko berbicara di hadapan para anggota Federation of Women’s Club di Garden City, New York bahwa ‘nasionalisme kolonial’ yang berkembang di Indonesia–sebagai bagian dari regional Asia–akan membawa pada kedaulatan sejati. Nasionalisme kolonial, menurut Soedjatmoko berbeda dengan ‘nasionalisme imperialis’ yang menjadi nilai dari negara-negara penjajah. Perjuangan yang timbul dari nasionalisme kolonial tidak hanya berkaitan dengan upaya-upaya fisik untuk membebaskan diri dari kependudukan asing, tetapi merupakan “gerakan spiritual yang terbit dari rasa penolakan dan keputusasaan dari orang-orang yang tidak lagi bisa menerima atau bersepakat dengan kehidupan yang dibentuk oleh kolonialisme.”

Empat puluh tahun kemudian, Soedjatmoko masih menjadikan posisi Indonesia dalam ruang global sebagai pembahasan dalam tulisan-tulisan maupun paparan-paparannya, walaupun pada era 1980–1990-an ini, lebih banyak tulisan Soedjatmoko dalam bahasa Indonesia dan disampaikan di hadapan publik dalam negeri. Indonesia, dalam kacamata Soedjatmoko, telah berhasil melepaskan diri dari kolonialisme tetapi belum selesai dalam perkara dekolonialisasi. Menjadi negara Dunia Ketiga, Indonesia tertinggal dalam pemanfaatan bidang-bidang ilmu pengetahuan strategis untuk mendorong pembangunan, di antaranya bioteknologi, mikroelektronika, dan informatika. Sementara negara-negara lain telah menghadirkan terobosan-terobosan ilmu pengetahuan yang mendorong kemaslahatan masyarakat secara ekonomi maupun budaya.

Terus bertahannya pembacaan atas posisi Indonesia di antara negara-negara lain, baik negara maju maupun negara berkembang seperti Amerika Serikat dan India, dalam rentang waktu empat puluh tahun menunjukkan kepercayaan Soedjatmoko akan adanya politik yang bermain dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan. Sebutlah ini politik luar negeri, yang terus menerus menempatkan Indonesia di posisi ‘bukan pemenang’–tidak sepenuhnya takluk dan kalah tapi juga tidak memimpin–yang membuat Indonesia tertinggal ratusan atau ribuan depa dari negara-negara lain dalam hal pembangunan.

Pembangunan dalam hal ini tidak hanya berkenaan dengan kerja-kerja perancangan dan perwujudan suatu konsep yang hasilnya dapat disadari secara material dalam tataran singular, tetapi berkaitan dengan faset kedua cara pandang Soedjatmoko terhadap ilmu pengetahuan. Periode waktu ketika Soedjatmoko meninggalkan gagasan ‘nasionalisme kolonial’ dan beralih ke ‘nasionalisme modern’ dan ‘nasionalisme pembangunan’ adalah masa-masa ketika pemerintah Orde Baru menggalakkan politik pembangunanisme. Soedjatmoko menggunakan kedua istilah tersebut tepatnya dalam sebuah pidato berjudul “Indonesia Menghadapi Perobahan Dunia: Peranan Informasi” yang ia sampaikan pada acara pembukaan Lembaga Pendidikan Dr. Sutomo tahun 1988.

Konsistensi pandangan Soedjatmoko bahwa ilmu pengetahuan berperan mendorong pembangunan nasional yang berlangsung ketika pemerintah terus menggelontorkan babak-babak Repelita seakan mengindikasikan persetujuannya dengan politik pembangunanisme Orde Baru. Namun pendalaman lebih lanjut pada tulisan-tulisan Soedjatmoko pada periode pemerintahan Orde Baru menunjukkan kerikil-kerikil kritik terhadap narasi besar pembangunan yang berjaya pada saat itu. Alih-alih berkesepahaman dengan pengembangan satu jenis tanaman secara besar-besaran yang mengarah pada penyeragaman hayati dan tradisi, Soedjatmoko membicarakan tentang pentingnya penguasaan ilmu bioteknologi untuk pengembangan “jenis2 padi dan bahan pangan lain” dalam tulisannya “Dampak IPTEK atas Sistem Sosial-Budaya” yang ditulisnya pada penghujung dekade 1980-an. Pada level kebijakan dalam negeri, diversifikasi jenis tanaman sumber pangan mengimplikasikan keterbukaan dan keberagaman ilmu pengetahuan, suatu hal yang berlawanan dengan peta jalan dan misi pemerintah Orde Baru.

———–

Penemuan atas dua hal yang berkaitan dengan cara Soedjatmoko sebagai seorang pemikir memandang ilmu pengetahuan membawa pada perenungan tentang bagaimana kita hari ini memahami ilmu pengetahuan. Bagaimana kita memahami peran ilmu pengetahuan dalam konteks posisi Indonesia di semesta regional dan internasional dan juga identitas Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah, di mana pada beberapa titik masih ada jejak-jejak kolonialisme asing dan Orde Baru yang menghiasi kehidupan masyarakatnya. (Bukankah saat ini alam bawah sadar masih sering menjebak kita pada perasaan inferioritas, dan ada percikan-percikan demokratisasi yang coba dipadamkan di sana sini?)

Politik masih dan akan terus menyelimuti ilmu pengetahuan–seperti yang telah saya tunjukkan dengan contoh pengetahuan bahasa di awal tulisan ini–dan kesadaran akan hal ini dapat membantu kita untuk melihat dengan lebih jeli wacana-wacana yang berkenaan dengan peran dan fungsi ilmu pengetahuan dalam konteks bernegara. Di manakah posisi Indonesia sebenarnya saat ini jika berbicara tentang peran ilmu pengetahuan dalam mengangkat derajat negara? Sejauh mana ilmu pengetahuan yang “dibolehkan” untuk kita ketahui mendukung atau menentang wacana-wacana yang diusung pemerintah?

Dan di mana peran ilmu pengetahuan sebenarnya di tengah ramai-ramai perbincangan tentang Indonesia menjadi “negara unggul di panggung global”, “kekuatan ekonomi dunia”, atau abstraksi-abstraksi “pembangunan berkelanjutan” dan berjilid-jilid “revolusi” (Revolusi 4.0, Revolusi 5.0, dan seterusnya)?

Penulis

Dhianita Kusuma Pertiwi telah menerbitkan ensiklopedia Mengenal Orde Baru (2021) serta beberapa karya fiksi dan non-fiksi. Saat ini, selain menjadi redaktur Footnote Press, ia rutin merilis artikel tentang sejarah dan isu sosial-politik di situs pribadinya dhiandharti.com.