Kelahiran Sawahlunto tahun 1922, Soedjatmoko (tanpa nama depan, tanpa titel) belajar di Sekolah Kedokteran di Hindia Belanda. Pada saat pendudukan militer Jepang ia dikeluarkan karena terlibat dalam aksi-aksi pelajar anti Jepang. Hingga masa perang berakhir, ia tetap melanjutkan hubungannya dengan gerakan bawah tanah anti Jepang di Jawa. Tahun 1945, saat dimulainya revolusi kemerdekaan, ia diangkat sebagai kepala seksi pers luar negeri di bawah Kementerian Informasi yang baru dan, pada saat yang sama, juga menjadi editor majalah mingguan berbahasa Belanda HET INZICHT yang diterbitkan kementrian tersebut. Tujuan majalah ini adalah untuk terus berdialog dengan Belanda sementara perlawanan fisik terus berlangsung. Ia juga merupakan salah satu dari dua orang pendiri mingguan politik dan budaya SIASAT.

Pada tahun 1947, saat semakin jelas bahwa Pemerintah Kolonial Belanda berencana melakukan aksi militer terhadap Republik Indonesia yang baru lahir, Soedjatmoko bersama dua orang lainnya dikirim ke Amerika Serikat untuk bersiap melawan rencana yang akhirnya terjadi itu dan untuk membantu menyampaikan posisi Indonesia di muka Dewan Keamanan PBB. Dari tahun 1947-1951 ia menjadi anggota Delegasi Indonnesia untuk Dewan Keamanan PBB dan, pada dua tahun terakhirnya, ia menjadi Utusan Pengganti Permanen.

Setelah kemerdekaan Indonesia diakui internasional, Soedjatmoko belajar di Littauer School of Public Administration di Harvard University tapi kemudian, sebelum lulus, ia dikirim ke London sebagai Charge d’Affaires Indonesia yang pertama di sana. Pada tahun 1953, ia meninggalkan dunia pemerintahan untuk kembali ke dunia jurnalisme dan politik. Ia bergabung dalam mingguan SIASAT sebagai salah satu redaktur dan kemudian menjadi redaktur rekanan dari terbitan sepemahamannya, yaitu surat kabar harian PEDOMAN. Pada tahun 1953-1961 Soedjatmoko juga menjadi direktur perusahaan penerbitan buku, PEMBANGUNAN. Tahun 1955 ia terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Partai Sosialis Indonesia dan tetap menjadi anggota hingga dibubarkannya Dewan Konstituante oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. Tahun 1960 PEDOMAN dan SIASAT dilarang terbit atas Keputusan Presiden Soekarno.

Pada 1961-1963 Soedjatmoko menjadi dosen tamu di Cornell University dan sempat bertugas sebentar sebagai konsultan Rockefeller Foundation. Setelah kepulangannya ke Indonesia, ia dicekal hingga akhir pemerintahan Soekarno pada tahun 1965.

Pada tahun 1967 Soedjatmoko menjadi penasehat pribadi Menteri Luar Negeri Adam Malik (hingga 1977). Pada tahun 1968 ia diangkat menjadi Duta Besar untuk Amerika Serikat, yang dijabatnya hingga tahun 1971. Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia berperan sebagai penasehat Ketua BAPPENAS untuk bidang budaya dan sosial. Ia terus bekerja sebagai penasehat BAPPENAS hingga diangkat menjadi Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Tokyo (1980-1987).

Soedjatmoko punya keterlibatan panjang dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selain bertugas sebagai delegasi di Dewan Keamanan PBB semasa Revolusi Kemerdekaan Indonesia, ia juga menjadi wakil ketua misi masuk kembalinya Indonesia sebagai anggota PBB tahun 1966, setelah Indonesia keluar dari PBB tahun 1964. Ia menjadi konsultan khusus untuk UN Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, ditugaskan untuk menyatukan tiga lembaga riset dan institusi pelatihan yang menjadi cikal bakal berdirinya Asia Pacific Development Centre (APDC) di Kuala Lumpur, Malaysia. Dari tahun 1977 hingga penugasannya sebagai Rektor, Soedjatmoko menjadi anggota Komite Penasehat Program untuk Program Pembangunan Manusia dan Sosial dari Universitas PBB. 

Soedjatmoko adalah salah penyunting An Introduction to Indonesian Historiography, bersama Mohamad Ali, G.J Resink dan George Mc.T. Kahin, terbitan Ithaca Cornell University Press, tahun 1965. Buku berbahasa Inggris lain yang ditulis Soedjatmoko adalah Development and Freedom, Simul Press, Tokyo, 1980 (juga diterbitkan dalam bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia) dan The Primacy of Freedom in Development, University Press of America, Lanham, Maryland, 1985. Sejumlah buku terbit di Indonesia: Dimensi Manusia dalam Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1983; Etika Pembebasan, LP3ES, Jakarta, 1984; Pembangunan dan Kebebasan, LP3ES, Jakarta, 1984; Soedjatmoko dan Keprihatinan Masa Depan, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991; Kebudayaan Sosialis, Melibas, 2001; Krisis Daya Cipta Indonesia: Polemik Soedjatmoko versus Boejoeng Saleh, Ombak, Yogyakarta, 2004; Asia di Mata Soedjatmoko, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009; Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009. Pada tahun 2002, M. Nursam menulis Pergumulan Seorang Intelektual: Biografi Soedjatmoko (Gramedia, Jakarta).

Soedjatmoko juga berperan aktif dalam perdebatan internasional mengenai isu-isu global. Ia menjadi anggota Independence Commission on Disarmament and Security Issues (Komisi Perlucutan Senjata dan Persoalan Keamanan), Palme CommissionIndependent Commission on the International  Humanitarian Issues (Komisi Independen tentang Persoalan Bantuan Kemanusiaan) dan The Club of Rome. Cukup lama Soedjatmoko pegang andil sebagai wali amanah pada Aspen Institute of Humanistic Studies dan Ford Foundation. Ia juga sempat menjalankan peran dalam kepengurusan Insitute for Environment and Development.

Soedjatmoko pernah bertugas dalam Board of Governors pada lembaga International Development Research Center (IDRC) Canada (1973-1977), selain di Asian Institute of Management (1972-1975), dan pernah menjadi anggota Board of Visitors pada Departemen Ekonomi dari Boston University (1980-1987). Ia juga pernah jadi anggota dari Society for International Institute for Strategic Studies di London. 

Dari tahun 1972-1980, bersama John D.Rockefeller III dan Sabura Okita, Soedjatmoko berperan sebagai penyelenggara pertemuan-pertemuan tahunan yang digagas oleh Asia Society di Williamsburg, Amerika Serikat, untuk membahas persoalan-persoalan di Asia dan Pasifik. 

Soedjatmoko juga terlibat dalam beberapa organisasi budaya dan akademis. Antara lain, ia menjadi International Fellow di American Academy of Arts and Sciences, anggota kehormatan Siam Society, Bangkok, Thailand, dan juga pernah menjadi anggota Akademi Jakarta dan dua kali menjadi anggota Master Jury bagi Penghargaan Agha Khan untuk arsitektur.  

Tahun 1978 Soedjatmoko menerima Ramon Magsaysay Award untuk International Understanding (kadang disebut Hadiah Nobel Asia). Kutipan yang menyertainya sebagai berikut: “Situasi para pemikir independen yang berkiprah di tengah gejolak politik Asia yang sedang berkembang penuh kerentanan. Adalah pertanda komitmen positif Soedjatmoko bahwa kepentingan diri tidak menghalangi ekspresinya yang terus terang. Ia juga tidak membiarkan keanggotaannya di berbagai forum dan organisasi internasional terkemuka untuk menjauhkan keprihatinannya atas realitas kehidupan desa di Indonesia.” Tulisan-tulilsannya, menurut kutipan ini, telah memperkaya “bangunan pemikiran internasional tentang apa yang bisa dilakukan untuk memenuhi salah satu tantangan terbesar di masa kita: bagaimana membuat hidup lebih layak dan memuaskan bagi 40% warga termiskin di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Dalam prosesnya dia menstimulasi orang lain untuk mempertajam persepsi mereka dan membuat upaya pemerintah dan swasta menjadi lebih relevan.”

Tahun 1985 Soedjatmoko menerima Asia Society Award, yang diberikan kepada empat individu yang telah memberikan kontribusi luar biasa di bidangnya masing-masing dalam meningkatkan pemahaman tentang kawasan Asia Pasifik.

Soedjatmoko juga menerima gelar kerhomatan dari Yale University, Georgetown, Cedar Crest College and Williams College di Amerika Serikat; Kwansei Gakuin University di Jepang; Asian Institute of Techology di Thailand; dan, Universiti Sains Malaysia. 

Di Indonesia, Soedjatmoko menerima Piagam Anugerah Pendidikan, Pengabdian dan Ilmu Pengetahuan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mashuri, pada tahun 1971; Piagam Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Soeharto pada tahun 1995; serta, Piagam Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Joko Widodo dan Gelar Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, pada tahun 2017.

Soedjatmoko menikah tahun 1957 dengan Ratmini Gandasubrata. Keduanya memiliki tiga orang putri: Kamala Chandrakirana, Isna Marifa, Galuh Wandita.

Dimutakhirkan dari catatan Soedjatmoko tertanggal 23 Februari 1988