Pemikiran Soedjatmoko dan Relevansinya dengan Indonesia Hari Ini

Membaca Soedjatmoko bekerjasama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menggelar diskusi “Soedjatmoko, Ilmuwan Pemikir Kebebasan dan Pembangunan: Kontekstualisasi dan Relevansi bagi Imajinasi Indonesia” pada Jumat (25/2/2022).

Diskusi yang dilangsungkan secara daring ini menghadirkan narasumber Reza Idria (Anggota ALMI dan Dosen UIN Ar Raniry, Aceh), Sulistyowati Irianto (Guru Besar FH UI dan Penasehat ASSLESI), dan Riwanto Tirtosudarmo (Penasehat KIKA), serta dimoderatori oleh  Herlambang P. Wiratraman (Dosen FH UGM, Anggota ALMI dan LP3ES).

Reza Idria membuka diskusi dengan menyinggung “Harvard Speech” (1949), teks pidato yang disampaikan Soedjatmoko di Universitas Harvard, Amerika Serikat, saat usianya baru 27 tahun. Di mata Reza, selain menunjukkan bakat dan kepiawaian Soedjatmoko sebagai seorang diplomat, “Harvard Speech” juga terasa relevan dengan “pertanyaan-pertanyaan saya yang sedikit melankolis saat saya tumbuh remaja, lalu menjadi pemuda saat negara sangat tidak bersahabat dengan kami di Aceh.”

Dalam “Harvard Speech”, Soedjatmoko menyebut gerakan nasionalisme di Indonesia dan negara-negara Asia pada itu sebagai Imperialist Nationalism, berbeda dengan konsepsi nasionalisme di negara-negara mapan seperti di Eropa Barat yang memiliki klaim-klaim universal terkait kemakmuran, Colonial Nationalism.

“Saat itu, gerakan nasionalis di Indonesia dan Asia pada umumnya bukanlah sebuah gerakan yang memiliki konsep mengangkat kemakmuran derajat hidup, melainkan ‘hanya’ reaksi yang disebabkan ketidakadilan dan struktur kolonialisme yang menyebabkan orang-orang terjajah kehilangan derajat kemanusiaan,” ungkap Reza.

Puluhan tahun setelah “Harvard Speech” ditulis, konsepsi Soedjatmoko tentang Imperialist Nationalism, yang orientasinya sangat mendasar dan objektif: keluar dari ketidakadilan, kembali menemukan relevansinya jika kita melihat sejumlah peristiwa genting yang berlangsung di Aceh beberapa dekade lalu hingga yang terjadi di Papua belakangan ini. “Ketidakadilan dan perampasan martabat kemanusiaan adalah dua hal penting yang harus diwaspadai oleh struktur kekuasaan jika tidak ingin muncul perlawanan,” terang Reza.

Selain memandang Soedjatmoko sebagai seorang diplomat ulung, Reza, antropolog, juga melihat sosok Soedjatmoko sebagai budayawan tulen. Apa pun yang ditulis oleh Soedjatmoko selalu berada di ranah kebudayaan dan manusia. Hanya, Bung Koko, sapaan akrab Soedjatmoko, tidak mencoba menawarkan definisi kebudayaan, tapi peran kebudayaan yang vital dan komprehensif bagi perubahan dan pembangunan manusia. Hal itu tampak pada salah satu tulisannya, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan” (1954).

“Esai tersebut konon memicu perhatian dan perdebatan sehingga Cornell University Indonesia Modern Project menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris pada 1958,” kata Reza.

Dalam tulisan-tulisannya, Soedjatmoko juga konsisten menyuarakan pembangunan sebagai sinonim dari societal growth. Karenanya, di mata Soedjatmoko pemerintah keliru jika menganggap dirinya sebagai satu-satunya agen pembangunan—hal yang relevan dengan rezim pembangunan yang gemar mempercanggih pembangunan fisik tapi abai pada masalah kemanusiaan, sebagaimana tampak pada rezim saat ini.

Di samping manusia dan kebudayaan, tak kalah penting dan menarik adalah tulisan-tulisan Soedjatmoko soal kemiskinan. Soedjatmoko bahkan pernah menyinggung soal kemiskinan dalam kapasitasnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat saat diminta untuk membuka pagelaran tari di Maryland.

“Bagi Soedjatmoko, kemiskinan Indonesia adalah bagian dari masalah internasional, begitu juga kemiskinan Aceh saat ini—jika saya melihat dengan kacamata Soedjatmoko—adalah bagian dari masalah nasional dan internasional.”

Saking luasnya tema dan minat Soedjatmoko, Reza sampai pada kesimpulan bahwa Soedjatmoko adalah seorang pemikir yang terus membangun pertanyaan yang benar dan terus berusaha mencari rumus pemecah bagi persoalan-persoalan manusia dalam posisinya sebagai warga negara dan warga dunia. Semua tulisan Soedjatmoko adalah upaya mengurai berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat pada zamannya juga berbagai masalah yang akan dihadapi oleh generasi berikutnya. “Ketidakadilan gender, penegakan HAM, perubahan iklim adalah isu-isu besar yang bagi saya seperti de javu: ditulis pada 1980-an tapi masih relevan hingga hari ini,” sambung Reza.

Ilmuwan Asketik

Di mata Sulistyowati Irianto, sosok Soedjatmoko tak ubahnya seorang intelektual asketik, yakni sosok yang tak hanya punya kesejatian dalam keilmuannya, tapi juga pejuang bagi masyarakatnya. “Orang-orang seperti Pak Koko tidak hanya memintarkan diri sendiri, tapi menggunakan ilmunya untuk meneropong masyarakat dan permasalahan-permasalahannya,” ungkap Prof. Sulis, panggilan Sulistyowati Irianto. Bertolak dari ungkapan itulah Prof. Sulis kemudian menyampaikan refleksinya terkait kondisi intelektual hari ini, terutama intelektual yang tumbuh dan besar di kampus.

“Kebanyakan ilmuwan (kampus) saat ini punya mental menjadi birokrat, sehingga kehilangan daya kritikal untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kemanusiaan dan pemerintah bersih,” ujar Prof. Sulis.

Guru Besar Antropologi Hukum ini pun membeberkan sejumlah alasan yang membuat kaum intelektual terkesan tinggal di menara gading. Mulai dari tata kelola universitas, tumpukan tugas-tugas administratif, hingga berusaha berusaha melacak akar masalahnya hingga era kolonial.

“Sekolah-sekolah pada masa kolonial, misalnya sekolah hukum dan kedokteran, dibuat untuk memenuhi kepentingan birokrasi. Tapi, ini jawaban yang belum tentu benar,” ujar Prof. Sulis.

Sebagai gambaran, Prof Sulis menerangkan, Sekolah Dokter Djawa (cikal bakal Fakultas Kedokteran UI) yang didirikan pada 1853 dibentuk untuk mencukupi kebutuhan nakes dan kekurangan dokter Belanda, sedangkan Rechtschool yang didirikan pada 1909 (kelak menjelma menjadi Fakultas Hukum UI) dibentuk untuk memenuhi tenaga hukum di pengadilan Lebak—bukan untuk mengurai persoalan-persoalan di masyarakat.

“Tapi, jika kemandekan ilmuwan saat ini berasal dari warisan pendidikan kolonial, saya juga bertanya-tanya sebab kebanyakan pelopor pejuang kemerdekaan Indonesia berasal dari Fakultas Kedokteran,” ungkap Prof. Sulis.

Diketahui, sebelum dikenal sebagai diplomat, budayawan dan intelektual terkemuka, Soedjatmoko juga sempat menempuh pendidikan di Sekolah Kedokteran, tapi tidak selesai.

Persoalan akut lain yang melanda kaum intelektual saat ini, sambung Prof. Sulis, adalah ambisi untuk menjadi birokrat atau pejabat hingga mudah terseret arus politik praktis. Masalah berikutnya, ambisi semacam itu pula yang kemudian membuat sejumlah kejahatan di lingkungan kampus mengemuka: suap, plagiat, dan lain sebagainya.

Ilmuwan dengan mental priyayi seperti itu kurang berminat turun ke masyarakat, bekerjasama dengan NGO atau aktivis masyarakat, sehingga teralienasi dari masyarakat dan berbagai permasalahannya. Salah satu contoh paling nyata, saat aksi #ReformasiDikorupsi gencar disuarakan banyak pihak, hanya sedikit ilmuwan yang ikut andil turun tangan.

“Dalam kondisi demikian, apakah mungkin bakal muncul ilmuwan asketik sekaliber Soedjatmoko? Dari ilmuwan medioker, apakah mungkin bakal lahir para murid berkarakter?” pungkas Prof. Sulis.

Gagasan Visioner

Salah satu karya Soedjatmoko yang monumental adalah “Pembangunan dan Kebebasan”. Pada mulanya, pemikiran itu tertuang dalam makalah berbahasa Inggris sebanyak 80 halaman dan kemudian dibukukan: “Development and Freedom” (1980).

“Tulisan itu tidak hanya menunjukkan kemiskinan dalam negeri, tapi juga ketimpangan global,” ujar Riwanto Tirtosudarmo, Peneliti Sosial, penulis “Mencari Indonesia”.

Lebih jauh, Riswanto juga menyebut Development and Freedom sebagai buah pemikiran yang mendahului dua pemikir ekonomi dunia, yakni Mahbub ul Haq dari Pakistan dan Amartya Sen dari India. Jika nama pertama dikenal sebagai penemu Human Development Index (HDI), sosok yang kedua adalah penulis buku “Development as Freedom” yang mengantarkannya meraih penghargaan Nobel Ekonomi pada 1999.

“Mahbul ul Haq dan Amartya Sen dibesarkan dalam tradisi Barat, sedangkan Soedjatmoko menuliskan pemikirannya berdasarkan pengalaman langsung terhadap berbagai pergolakan di dalam negeri, seperti Peristiwa Malari,” lanjut Riswanto.

Seperti halnya Reza Idria, Riswanto mengungkapkan betapa berbagai kasus yang mencuat akhir-akhir ini, antara lain kasus Kendeng dan Wadas, muncul dari sikap rezim yang melulu mengagung-agungkan pertumbuhan fisik dan ekonomi tapi abai pada masyarakat. Hal itulah yang terus dikritisi Soedjatmoko sejak dulu dan persoalannya masih belum selesai hingga sekarang.

Diskusi “Soedjatmoko, Ilmuwan Pemikir Kebebasan dan Pembangunan: Kontekstualisasi dan Relevansi bagi Imajinasi Indonesia” adalah satu dari rangkaian seri diskusi 1oo Tahun Soedjatmoko yang digelar sepanjang 2022.

Dalam peringatan itu pula pihak keluarga, kolega, dan lembaga akademik yang punya hubungan intelektual dan emosional dengan Soedjatmoko meluncurkan situs web membacasoedjatmoko.com untuk menampung lebih dari 300 tulisan sang cendekiawan yang lahir pada 10 Januari 1922 dan meninggal pada 21 Desember 1989 ini.

 

Penulis

Zulkifli Songyanan adalah seorang penulis puisi, esai, berita, dan iklan. Ia baru saja menerbitkan buku puisinya yang berjudul “Saripati Hidup & Mati” (2022).