Pendidikan Anak dan Optimisme Soedjatmoko

Dalam sidang pleno pertama Konferensi Nasional Pembinaan dan Pengembangan Anak, 23 Juli 1984, Soedjatmoko pernah membahas dengan jernih mengenai bagaimana negara harus berinvestasi pada kesejahteraan dan pendidikan anak. Pada konferensi yang diselenggarakan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak di Hotel Sahid Jaya tersebut, ia dengan tegas mengatakan bahwa masa depan yang akan datang adalah masa depan anak-anak, bukan masa depan generasi tua. Bangsa Indonesia hanya akan memiliki masa depan, apabila anak-anak berkeyakinan mereka masih memiliki masa depan. “Walaupun sudah banyak kemajuan di negara ini selama 15 tahun terakhir, namun situasi anak-anak masih cukup muram. Kalau kita mau menjamin dan menyelamatkan kualitas anak 15 tahun mendatang, perlu investasi besar-besaran untuk kesejahteraan anak mulai dari sekarang,” kata Soedjatmoko sebagaimana diberitakan Kompas, 24 Juli 1984.

Soedjatmoko memberikan contoh bagaimana pemerintah Indonesia abai memberikan kesejahteraan pada anak. Semisal dengan pemberian biaya pelayanan kesehatan yang kecil dibanding negara-negara ASEAN lain. Indonesia pada waktu itu baru memberikan dana pelayanan kesehatan berjumlah 1,20 dollar AS per kapita. Jauh dibanding Filipina dan Thailand 3 dollar, apalagi Malaysia 20 dollar, dan Singapura 46,40 dollar. Selain itu, menurut Soedjatmoko, satu hal terpenting yang harus dilakukan negara adalah memupuk kemampuan belajar pada anak-anak. Mereka harus mampu belajar terus menerus untuk memperbaharui perbendaharaan pengetahuan mereka. Tak lupa, secara kolektif kemampuan belajar masyarakat termasuk pemerintah harus turut ditingkatkan.

Terawang jauh ke depan soal bagaimana negara harus memberikan kesejahteraan pada anak tentu saja karena pembayangan akan masa depan dunia yang tidak pasti. Hari ini, orang-orang memberikan istilah “disrupsi” untuk kondisi yang dibayangkan Soedjatmoko itu. Namun, jauh hari Soedjatmoko telah menjabarkan dengan runut kerangka kehidupan ke depan di tengah ketidakjelasan situasi dunia. Ia melihat proses transformasi global dan maupun nasional yang berlangsung sangat cepat, ditandai dengan perpindahan penduduk, ledakan penduduk, gejolak perebutan kekuasaan dan perang, menurunnya daya dukung lingkungan, serta bermunculannya kota-kota raksasa dengan segala dampaknya. Pada kondisi seperti itu, menurut Soedjatmoko, semisal bila terjadi resesi ekonomi, maka anak-anak akan terus menjadi korban pertama. “Tak jarang anak-anak dari keluarga miskin dieksploitasi, disewakan untuk mengemis, didorong dalam praktik pelacuran, menipu atau mencopet,” kata Soedjatmoko.

Keadaan Indonesia pada waktu itu, menurut Soedjatmoko, masih jauh lebih baik walaupun di kawasan ASEAN kualitas anak-anak Indonesia masih buruk. Namun dibandingkan dengan negara lain, semisal di kota San Paolo, Brazil, pada periode itu situasinya sangat memilukan. Di dalam penjara San Paolo 80 persen dari jumlah narapidananya pada waktu itu adalah anak-anak yang berada dalam garis kemiskinan. Di segala penjuru kota tampak anak-anak yang mengais-ngais makanan dalam kondisi yang sangat tidak layak. Apakah Soedjatmoko pesimis terhadap masa depan anak-anak Indonesia? “Kalau pesimis, lebih baik sekarang saya bunuh diri,” kata Sudjatmoko (Kompas, 24 Juli 1984).

Anak-anak dan Proses Perubahan Global

Sumbangan pikiran Soedjatmoko dalam konferensi tersebut kemudian dimuat secara bersambung dalam terbitan Harian Angkatan Bersenjata, 1-3 Agustus 1984. Menarik melihat bagaimana ia memaparkan poin-poin pikirannya berdasarkan keyakinan pada hari depan, bahwa kualitas sumber daya manusia merupakan modal yang paling menentukan suatu bangsa, lebih dari pemilikan sumber-sumber daya alam. Kualitas sumber daya manusia kedepan ditentukan oleh kemampuan negara untuk mengembangkan potensi yang terdapat pada anak-anak.

Soedjatmoko membayangkan ke depan, dalam artian hari ini, bahwa proses perubahan global dan nasional mempunyai implikasi terhadap cita-cita lepas landas dan bersaing dalam konteks global. Akan ada perubahan tatanan sosial dan ini merupakan tantangan yang harus dijawab dengan efektif. Kegagalan dalam menjawab tantangan akan menyebabkan bangsa Indonesia gagal mencapai tahap lepas landas dalam usaha pembangunan bangsa. Tantangan pertama, menurut Soedjatmoko, adalah bagaimana mempertahankan eksistensi Indonesia di tengah-tengah pergolakan internasional tanpa kehilangan identitas kultural dan politis. Perihal ini akan dicapai apabila bangsa Indonesia mampu meningkatkan daya saing dalam kehidupan ekonomi, politik dan kultural.

“Kita dituntut untuk mampu berhadapan secara terbuka dengan pola-pola kehidupan yang dianut oleh bangsa-bangsa lain dan mampu untuk bereaksi secara kreatif dalam setiap perjumpaan,” kata Soedjatmoko. Tanpa kemampuan untuk menghadapi perjumpaan semacam ini, bangsa Indonesia akan tenggelam dalam arus pergaulan antar bangsa, dan tanpa kesadaran identitas. Di sini Soedjatmoko memberikan gambaran bahwa bangsa Indonesia dihadapkan pada suatu kewajiban untuk belajar mencerna dan memanfaatkan setiap kemajuan dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Dan benar saja, hari ini, 38 tahun setelah Soedjatmoko memaparkan pandangannya, kita dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kita melek terhadap perkembangan teknologi dan informasi.

Kemampuan kolektif seluruh bangsa untuk belajar (the learning capacity of a nation) dalam pandangan Soedjatmoko adalah satu hal terpenting dalam meningkatkan daya saing suatu bangsa. Pada bagian ini, kemampuan kolektif untuk belajar berguna untuk mencari perkembangan dan mencerna informasi pengetahuan yang tersedia, sehingga terhimpun suatu kolektif untuk menjawab tantangan-tantangan serta keperluan baru, sejalan dengan perubahaan keadaan. Keharusan untuk meningkatkan kemampuan belajar ini, menurut Soedjatmoko, tidak hanya menyangkut setiap individu, melainkan setiap organisasi dan setiap komunitas. Dalam menghadapi perubahan yang pesat, setiap lembaga dan organisasi harus mampu berfungsi dengan cara baru. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka relevansi dan kemampuan lembaga-lembaga tersebut akan terus digerogoti, akan menjadi hampa, lalu tersisihkan.

Lalu bagaimana Soedjatmoko membayangkan langkah terbaik dalam mempersiapkan bangsa Indonesia dalam memasuki masa depan yang penuh ketidakpastian? Jawabannya adalah kemampuan untuk mempersiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia, mempersiapkan anak-anak, kelompok usia 15 tahun ke bawah. “Kalau anak-anak dalam kelompok umur ini dapat kita kembangkan menjadi sumber daya yang dapat diandalkan, menjadi angkatan kerja yang cerdas dan terampil, ulet, rajin, berdisiplin dalam kerja, maka rasanya akan mungkin kita menjawab tantangan-tantangan yang muncul ke depan,” kata Soedjatmoko. Apabila bangsa ini gagal dalam mengembangkan sumber daya manusia, maka akan muncul kelompok kerja dengan mutu rendah.

Perlu kecermatan dan strategi oleh negara dalam mengembangkan kemampuan kelompok anak-anak umur 15 tahun ke bawah untuk menjadi kelompok  kerja yang handal. Negara harus cermat dan harus punya kemampuan dalam hal ini. Hambatan terbesar dalam pandangan Soedjatmoko adalah bagaimana negara melakukan pembiaran terhadap anak-anak dalam lingkungan miskin. Sebagian dari mereka bahkan harus hidup dalam kondisi kurang gizi yang kronis. Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan intelektual serta keterbatasan anak-anak dalam perkembangan mereka untuk menguasai pola-pola interaksi sosial. Negara, dalam pandangan Soedjatmoko, harus hadir memberikan perhatian dan perlindungan terhadap perkembangan anak-anak Indonesia ini. Mulai dari persoalan gizi mereka, hingga persoalan pelayanan kesehatan, dan bantuan untuk mendapatkan pendidikan yang memadai.

Anak-anak dan Pokok Pikiran Soedjatmoko

Pandangan Soedjatmoko mengenai bagaimana mempersiapkan generasi Indonesia masa depan tentu saja sangat relevan jika dibaca kembali hari ini. Anak-anak dalam kelompok usia 15 tahun ke bawah dalam pembicaraan Soedjatmoko pada konferensi tahun 1984 tersebut adalah mereka yang hari ini merupakan angkatan kerja produktif dan menjadi pemimpin (juga pekerja) di lini pemerintahan dan swasta hari ini. Pandangan 38 tahun lalu tersebut juga erat hubungannya dengan target capaian pemerintah Indonesia untuk menyongsong Generasi Emas 2045.

Dalam konferensi tersebut, Soedjatmoko juga menyarikan enam pokok pikiran yang dianggap tonggak-tonggak utama untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi masa depan. Pertama, masa depan yang kita hadapi bersama akan ditandai oleh berbagai jenis perubahan yang kompleks. Masa depan ini melahirkan sejumlah problematika yang tidak akan dapat dihadapi secara memadai berdasarkan kebijaksanaan tradisional semata-mata. Kedua, Langkah paling tepat untuk menghadapi situasi semacam ini adalah memupuk kemampuan belajar pada anak-anak. Mereka harus mampu belajar secara terus-menerus, untuk selalu memperbaharui perbendaharaan pengetahuan mereka. Hanya dengan kemampuan belajar semacam ini akan mungkin bagi mereka untuk menjadi sumberdaya manusia yang memiliki kadar retainability yang tinggi, yaitu kemampuan untuk memperbaharui diri sendiri secara terus menerus. Ketiga, untuk meningkatkan kemampuan belajar semacam ini ada tiga langkah dasar perlu dilaksanakan yaitu melindungi anak-anak dari praktek eksploitasi; meningkatkan kesejahteraan anak, terutama terhadap anak-anak yang hidup dalam lingkungan keluarga miskin, dan mempersiapkan program pembinaan anak yang terdiri dari pendidikan formal reguler serta pemupukan keterampilan-keterampilan sosial baru melalui jalur-jalur non-formal.

Keempat, problematik yang muncul di masa depan akan menghancurkan generasi mendatang mengembangkan tata nilai mereka sendiri, yakni suatu tata nilai yang lebih memadai menghadapi persoalan-persoalan baru yang hingga sekarang belum pernah muncul untuk masyarakat kita. Untuk memungkinkan pertumbuhan kapasitas semacam ini, generasi tua tidak bisa memaksakan tata nilai yang telah dianut secara mutlak. Apa yang dilakukan ialah mewarisi tata nilai yang telah ada untuk digunakan sebagai modal dalam mengembangkan tata nilai baru. Cara yang paling tepat untuk itu adalah meneruskan tata nilai tersebut melalui keteladanan, dan tidak melalui orasi verbal dan eksesif. Kelima, generasi tua harus mengambangkan sifat membombong (supportive) terhadap anak. Anak tidak seyogyanya dipandang sebagai kelanjutan dari diri orang tua yang dapat dibentuk menurut kehendak orang tua. Setiap anak mempunyai pola potensinya sendiri, dan pola khas yang ada pada setiap anak hanya bisa berkembang secara optimal dalam suatu lingkungan yang bernafaskan suasana belajar. Keenam, masa depan yang akan datang adalah masa depan anak-anak, bukan masa depan generasi tua. Bangsa kita hanya akan memiliki masa depan, apabila anak-anak kita berkeyakinan bahwa mereka masih mempunyai masa depan.

Catatan: Tulisan ini merupakan pembacaan ulang dari pokok pikiran Soedjatmoko dalam Konferensi Nasional Pembinaan dan Pengembangan Anak, 23 Juli 1984. Sumber yang digunakan adalah Harian Kompas, 25 Juni 1984, dan Harian Angkatan Bersenjata, 1-3 Agustus 1984.

Penulis

Esha Tegar Putra merupakan lulusan Departemen Susastra Universitas Indonesia. Ia merupakan peneliti di Komisi Arsip dan Koleksi Dewan Kesenian Jakarta.