Membaca Soedjatmoko: Mewariskan Perjuangan Intelektual

Oleh: Margareth Ratih Fernandez

Selamanya kita akan mengenang kata “pembangunan” sebagai ajian keramat Orde Baru. Realisasinya berjalan tak terlalu lama setelah Soeharto berhasil melengserkan Sukarno. Adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun I-VI (Repelita I-VI) yang sejak 1969 menjadi dasar rezim tersebut melakukan pembangunan ekonomi yang ambisius. Apa-apa yang “dibangun” dalam agenda ini adalah segala sesuatu yang “terlihat”: menekan inflasi, mengejar pertumbuhan ekonomi secara cepat, membangun infrastruktur, hingga menggenjot produksi pertanian dan industri. Sebuah misi yang dalam pelaksanaannya tak sepi dari perilaku korup dan represif terhadap masyarakat sipil.

Orde baru sudah lama runtuh, tapi warisan perspektif dan pelaksanaan pembangunan seperti itu masih ada, bahkan secara masif digalakan pemerintah Indonesia hari ini. Beberapa waktu lalu Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup bahkan secara terbuka menyatakan misi pembangunan ini tidak boleh dihalangi oleh apapun termasuk problem deforestasi dan emisi karbon yang sudah cukup kronis di Indonesia. Pernyataannya mengecewakan begitu banyak orang, mengingat jabatan yang ia emban seharusnya membuat ia menjadi garda terdepan penyelamatan lingkungan. Semakin sering pula di media massa baik daring maupun luring, diberitakan proyek-proyek ambisius di sektor pariwisata dan industri sawit yang merebut ruang hidup masyarakat lokal. Kondisi ini yang perlahan-lahan menumpulkan daya masyarakat untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan kekayaan alam dan warisan budaya yang sudah mengakar di ruang hidup mereka sekian lama.

Mantra pembangunan demi kesejahteraan yang sayangnya hanya dinikmati segelintir orang terus berlanjut. Namun kritik yang mengiringinya juga tak pernah sepi. Tidak sedikit intelektual dan pemikir yang mengkritik laju pembangunan ini. Didik J. Rachbini, Ketua Dewan Pengurus LP3ES, mengenang Soedjatmoko sebagai salah satu intelektual humanis yang tak segan-segan mengkritik perspektif pembangunan yang demikian dan menyampaikan pemikiran alternatifnya.

“Pemikiran Soedjatmoko sangat relevan secara ekonomi, ia mengkritik negara-negara industri maju yang kerap memandang pembangunan di negara-negara berkembang dalam arti sempit hanya pembangunan ekonomi semata,” ujarnya dalam sambutan Diskusi LP3ES Mengenang Peninggalan Karya Intelektual Soedjatmoko pada 10 Januari 2022 lalu.

Ismid Hadad menyampaikan hal senada. Ia mengutip Soedjatmoko yang menyebut bahwa misi pembangunan harus dibarengi dengan penyejahteraan rakyat, tidak hanya membangun apa-apa yang terlihat. Berproses bersama Soedjatmoko secara khusus lewat jurnal Prisma yang dikerjakannya sejak 1971, Ismid menyatakan warisan pemikiran Soedjatmoko tentang pembangunan sangat penting dan selalu relevan.

Pengamat politik Fachry Ali mengamininya dengan mengutip salah satu pernyataan penting Soedjatmoko: “Pada akhirnya dalam proses pembangunan, yang pertama-tama menjadi korban adalah kebebasan manusia. Pembangunan harusnya memanfaatkan semua potensi manusia tanpa mengesampingkan kesejahteraannya.” Pembangunan tidaklah terbatas pada aspek material, melainkan pembangunan kemampuan manusia secara tersendiri atau berkelompok agar dapat memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam hidupnya.

“Soedjatmoko melihat bahwa sumber ancaman terhadap kebebasan dan otonomi manusia tidak bersifat tunggal, namun datang dari ranah struktural yang mengharuskan terbentuknya kekuasaan kuat dan terpusat yang diasumsikan perlu, demi memberantas kemiskinan,” jelas Fachry.

Ignas Kleden dalam acara yang menjadi bagian perayaan 100 tahun Soedjatmoko tersebut juga mengelompokkan tiga tingkatan pembangunan menurut Soedjatmoko. Pertama, yang paling teknis dan relatif dangkal, yakni pembangunan ekonomi. Pertumbuhannya bisa diukur dengan indikator GNP dan pendapatan per kapita. Kedua, yang lebih rumit, yakni Sosial Engineering. Usaha secara politik untuk mempengaruhi institusi-institusi sosial-politik hingga kegiatan lembaga-lembaga sosial dan  politik bukan penghambat pertumbuhan ekonomi melainkan terus mendorongnya. Ketiga, yakni soal “Development” atau Pembangunan. Aspek ini berupa pertimbangan mengenai sejauh mana pertumbuhan ekonomi dan semua perubahan-perubahan sosial politik ada hubungannya dengan perbaikan kesejahteraan hidup masyarakat. Apakah hal itu bisa dibenarkan dari sisi pertimbangan-pertimbangan moral.

“Jangan sekali-kali mereduksi kehidupan manusia ke dalam satu bentuk tertentu. Karena setiap orang harus diberikan kesempatan untuk bertumbuh dalam kemerdekaannya,” lanjut Ignas menegaskan.

Ignas juga menyebut Soedjatmoko sebagai seseorang yang individualis secara pemikiran, bukan sifatnya. Individualis yang Ignas maksudkan adalah ia tidak “bergantung” pada pemikiran, ideologi, atau paham filsafat manapun yang ia baca dan kagumi walaupun ia pernah menjadi bagian resmi dari Partai Sosialis Indonesia. Soedjatmoko terus berjalan dengan pemikirannya sendiri, dan ia pun meyakini semua orang seharusnya seperti itu, bebas menentukan dan mengemukakan pemikirannya. Soedjatmoko sebagaimana yang diceritakan Ignas, menyebut semua orang sebagai pencari kebenaran dengan cara yang sangat beragam.

Keluwesan pemikiran ini bahkan juga tampak dalam kiprah Soedjatmoko selama aktif di Partai Sosialis Indonesia. Sejarawan Ita F. Nadia menjelaskan secara singkat lanskap politik dalam internal Partai Sosialis Indonesia yang berkaitan dengan penelitian terbarunya, tentang kiprah Johan Syahruza dan Dayino dalam membangun pemikiran kritis gerakan kiri melalui sejarah gerakan Pemuda Pathuk di Yogyakarta. Internal PSI tidak secara rigid terbagi menjadi friksi yang kaku antara Sutan Sjahrir, Soemitro Djojohadikusumo, dan Soedjatmoko yang berbeda pemikiran. Mereka cukup cair untuk mendiskusikan banyak hal dan tak segan mengambil keputusan penting yang bisa jadi bertentangan satu sama lain.

Topik pembangunan tentulah hanya satu dari sekian banyak topik yang pernah ditulis Soedjatmoko sepanjang hidupnya. Tulisan-tulisannya berserak di mana-mana. Ia menulis tentang ekonomi, politik, budaya, universalisme, dan sebagainya. Soedjatmoko yang juga akrab disapa Koko oleh rekan-rekan dekatnya, dikenal sebagai seorang intelektual yang cukup generalis. LP3S sendiri menerbitkan tulisan-tulisan itu dalam tiga buku kumpulan esai yakni Dimensi Manusia dalam Pembangunan (Jakarta, 1983), Etika Pembebasan (Jakarta, 1984), dan Pembangunan dan Kebebasan (Jakarta, 1984).

Pengalaman-Pengamalan Personal

Dari atas mimbar, Ismid Hadid memulai kilas balik kenangannya bersama Soedjatmoko dengan kalimat yang menggelitik, “Saya tuh dulu malas membaca tulisan Om Koko dalam bahasa Inggris.” Hal itu dirasakannya lantaran struktur tulisan-tulisan Soedjatmoko, khususnya dalam bahasa Inggris, sangat rumit. Kalimat-kalimatnya panjang hingga “beranak-cucu”. Meski demikian, sebagai mahasiswa yang memang sedang butuh membaca sebanyak mungkin, Ismid berusaha “menelan” tulisan-tulisan itu dan akhirnya menjadi sangat akrab dengan pemikiran-pemikiran Soedjatmoko. Om Koko seperti yang diceritakan Ismid tidak keberatan dikritik demikian oleh Ismid yang jauh lebih muda dalam pertemuan-pertemuan mereka di kemudian hari. Mereka berkenalan secara resmi ketika Ismid bergabung dengan LP3S pada 1970 dan hendak membuat jurnal Prisma. Relasi kerja itu membuat mereka semakin dekat. Setiap kali Ismid ke rumahnya, Om Koko sering membekalinya dengan banyak buku, paper, dan bacaan-bacaan penting lainnya.

Pada 1971, ketika LP3S hendak menerbitkan edisi perdana Prisma, Ismid menjadi pengurus tunggal langsung meminta salah satu tulisan Soedjatmoko diterbitkan dalam edisi perdana. Tulisan itu adalah naskah keynote speech Soedjatmoko di Racine, Wisconsin saat menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Asia Society. Awalnya sedikit sungkan Ismid meminta naskah itu untuk dimuat di Prisma, tapi ia juga meminta Soedjatmoko menerjemahkannya terlebih dahulu. Om Koko menolaknya dan menyuruh Ismid yang menerjemahkannya sendiri. Ismid menyanggupi walau tahu akan sulit. Seperti yang Ismid utarakan sebelumnya, struktur tulisan Soedjatmoko dalam bahasa Inggris sangat rumit dengan kalimat yang panjang-panjang. Naskah pidato ini aslinya ditulis sepanjang 25 halaman. Ketika Ismid menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sebelum diedit, panjangnya mencapai 50-an halaman.

Naskah gemuk itu lalu Ismid ringkas sesuai kebutuhan jurnal Prisma yang dibaca oleh kalangan luas, bukan akademisi saja. Setelah di-edit, naskahnya hanya sepanjang 15 halaman dan diberi judul “Problem dan Prospek Pembangunan Indonesia.” Namun ia tak menyangka ketika naskah itu ditunjukkan kepada sang Penulis untuk dimintai persetujuannya, justru yang diterimanya adalah kemarahan. Om Koko tidak menyetujui sentuhan akhir itu walau Ismid kemudian tetap menerbitkannya. Beberapa minggu setelah penerbitan Prima edisi perdana itu, Soedjatmoko menghubungi Ismid dan mengatakan bahwa setelah ia membaca artikel itu lagi, terjemahan dan editan Ismid tak buruk juga.

Kejadian itu memberi nilai penting pada keduanya sebagai partner. Ismid belajar menangani tantangan mengemas artikel editannya, Soedjatmoko belajar untuk lebih luwes mempublikasikan karyanya, apalagi untuk terbitan populer yang segmentasi pembacanya tidak terbatas pada dunia akademik atau pemikiran semata.

Pengalaman ringan yang personal bersama Soedjatmoko juga dibagikan Ignas Kleden. Ia ingat kala pertama bertemu Soedjatmoko ia masih berstatus sebagai mahasiswa. Soedjatmoko sama sekali tidak meremehkan Ignas walau ia masih muda dan bukan “anak kota.” Dalam pertemuan itu Soedjatmoko lebih banyak mendengarkan pemikiran dan pengalaman studi Ignas, ia tidak menyela apalagi menghakimi. Sikap ini secara konsisten ditunjukkannya dalam kerja-kerja yang mereka lakukan bersama. Salah satunya saat Ignas menjadi editor buku Soedjatmoko yang berjudul Etika Pembebasan, diterbitkan oleh LP3S pada 1984. Begitu pun saat Ignas hendak menerjemahkan esainya yang berjudul “Soul and Society”, Soedjatmoko hanya punya satu permintaan: saya ingin pastikan apa kalian menerjemahkan dengan benar kalimat “In myself, I’m nothing, but in God I’m myself.”

Di luar itu, hubungan mereka sama cairnya. Ignas dipersilakan Soedjatmoko untuk bertamu ke rumahnya kapan saja kecuali hari Sabtu yang dikhususkannya untuk keluarga. Tentu dengan risiko ketika Ignas datang, Soedjatmoko sedang ada tamu atau urusan lain. Namun, ia memastikan pintu rumahnya selalu terbuka.

Berjuang Secara Intelektual

Pemikiran Soedjatmoko juga banyak memengaruhi Amelia Joan Liwe, dosen Hubungan Internasional, Universitas Pelita Harapan. Meskipun tak mengenal secara pribadi, Amelia banyak menyerap pemikiran-pemikiran Soedjatmoko yang menurutnya “terlalu maju pada masanya.” Amelia juga mengapresiasi website membacasoedjatmoko.com yang baru diluncurkan beberapa jam sebelum acara diskusi sore itu. Dengan antusias, ia hendak memasukkan website itu ke dalam silabus mengajarnya. Tak hanya itu, Amelia juga menyebut peluncuran website ini sungguh di moment yang pas dengan Indonesia sebagai tuan rumah G-20.

“Pemikiran Pak Soedjatmoko masih sangat relevan dengan kondisi kita saat ini. Jadi, dengan adanya website membacasoedjatmoko.com, orang-orang dengan mudah bisa mengaksesnya.”

Amelia sangat mengapresiasi sikap Soedjatmoko yang tidak mau masuk ke kotak-kotak tertentu. Itulah kenapa dalam kesempatan ini ia enggan mendefinisikan Soedjatmoko dan lebih banyak membicarakan apa saja yang sudah Soedjatmoko lakukan. Soedjatmoko, menurut Amelia, berusaha memecahkan berbagai persoalan lewat daya pemikirannya. Kendati pernah menjadi bagian dari sistem pemerintahan, Soedjatmoko tidak terkungkung dengan jabatannya. Ia terbuka pada segala kritik dari orang lain dan juga aktif  melakukan autokritik dalam kapasitasnya sebagai bagian dari para pengambil kebijakan.

Keberanian Soedjatmoko dalam mengeksplorasi pemikirannya pun diapresiasi oleh Amelia. Soedjatmoko tak segan berdiskusi dan berdebat secara intelektual dengan pemikir dari berbagai kalangan, baik dalam tulisan-tulisannya maupun secara langsung. Sebagai mantan diplomat, Soedjatmoko juga disebut Amelia berjasa besar dalam perjuangan diplomatik Indonesia. Sebagai negara baru yang butuh pengakuan Internasional dan agar dapat berjalan dengan baik kedepannya, Indonesia memiliki banyak pejuang diplomasi yang bekerja sangat keras di tatanan internasional, salah satunya Soedjatmoko.

Amelia memetakan tulisan-tulisan Soedjatmoko ke dalam tiga kategori yang katanya tidak mutlak, mengingat betapa luasnya cakupan pemikiran Soedjatmoko. Pertama, hakikat manusia dan pembangunan yang sudah banyak dibahas pembicara sebelumnya. Kedua, ilmu pengetahuan, sejarah, dan masa depan. Ketiga, pemikirannya dalam ranah hubungan internasional. Soedjatmoko memiliki kesadaran transformasi global sekaligus memahami dengan baik manusia Indonesia. Sebagai penutup, Amelia mengatakan bahwa ia sudah lama menemukan bahwa Soedjatmoko dalam pemikirannya, sudah sejak lama menekankan bahwa manusia Indonesia memiliki segala perangkat yang dapat digunakan untuk menghadapi globalisasi. Asalkan itu semua tidak direduksi.

Rangkaian acara Membaca Soedjatmoko sendiri akan diadakan sepanjang tahun 2022 untuk merayakan 100 tahun Soedjatmoko, sang pejuang intelektual.

 

Penulis

Margareth Ratih Fernandez berdomisili di Yogyakarta. Setelah lulus dari prodi Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta pada 2016, ia bekerja sebagai periset dan editor freelance untuk beberapa LSM dan penerbit. Empat tahun terakhir, ia bekerja penuh waktu sebagai staf redaksi di penerbit Buku Mojok sembari terus belajar menulis bersama teman-temannya di kolektif Perkawanan Perempuan Menulis.