Mencari Kata Kunci

Oleh: Heru Joni Putra​​

Tidak semua tokoh penting di negeri ini yang mendapatkan suatu peringatan 100 tahun secara layak. Perubahan situasi dalam rentang seabad itu, tak dapat dielakkan, turut mempengaruhi bentuk-bentuk ekspresi dari suatu generasi yang hidup ketika momentum seabad seorang tokoh, apalagi bila tokoh tersebut punya kontroversi tertentu. Kemeriahan peringatan 100 tahun Bung Karno tahun 2001 tentu tak terlepas dari kondisi setelah tumbangnya Orde Baru tahun 1998. Kita barangkali tak dapat membayangkan apakah kemeriahan yang sama bisa terjadi bila Orde Baru belum tumbang di ujung abad 20 itu. Seperti Tan Malaka misalnya, tak ada peringatan 100 tahun sama sekali. Setidaknya secara terbuka dan massal. Sebab, momentum satu abad untuknya terjadi di tahun 1997. Tahun yang mustahil untuk menyelenggarakan peringatan secara damai dan khidmat untuk tokoh itu.

Setiap zaman memang memberikan nasib baik dengan cara yang berbeda. Soedjatmoko, yang lahir tahun 1922, mendapatkan peringatan satu abad di zaman yang lebih baik untuknya. Di zaman ketika teknologi digital semakin massif, kita lebih mudah mengakses sumber-sumber primer dari tulisan-tulisan yang berserakan dari seorang tokoh. Dan kita beruntung, keluarga Soedjatmoko menyediakan pintu depan yang terbuka, yakni sebuah website bernama membacasoedjatmoko.com yang diluncurkan tepat pada peringatan 100 tahunnya, 10 Januari 2022. Selain itu, peringatan ini juga diselenggarakan ketika kita sudah lumrah dengan medium komunikasi internet. Nyaris tak ada persoalan berarti perihal jarak dan kehadiran. Yang dekat dan yang jauh sama-sama bisa merayakan. Ada perayaan panjang yang lebih mungkin untuk dilakukan.

Soedjatmoko merupakan generasi anak muda militan ketika Bung Karno dan “generasi pendiri bangsa” lainnya sedang berada di tampuk kepemimpinan masing-masing, sesuai strategi politik yang mereka jalankan. Soedjatmoko baru turun aktif dalam politik perjuangan kemerdekaan ketika masa penindasan Jepang. Dalam gelanggang politik masa itu, dalam banyak pengertian ia lebih dekat dengan Sutan Sjahrir. Kita tahu, keterlibatan melawan Jepang itu baginya punya risikonya sendiri: ia tidak melanjutkan lagi pendidikan kedokteran di Sekolah Tinggi Kedokteran di Batavia. Tapi, perjalanan hidupnya di kemudian hari, hingga wafat tahun 1989, menunjukkan bahwa risiko-risiko seperti itu hal yang terlalu lumrah dan biasa saja baginya. Ada sisi lain yang justru tumbuh-besar dari dirinya dan memberikan pengaruh pada banyak orang di abad lalu. Hal-hal itulah yang membuat kita di masa ini perlu membaca kembali kisah hidup dan menerus-kembangkan warisan pemikirannya.

Melalui website tersebut, kita bisa mengakses ratusan digitalisasi tulisan Soedjatmoko (baik berbahasa Indonesia maupun Inggris) yang dapat dibaca melalui pembagian tema, periode, dan kewilayahan. Secara tematik, pemikirannya mencakup isu seputar pembebasan manusia, pembangunan, dan politik kebudayaan; tatanan transnasional, transformasi global, dan universalisme; ilmu pengetahuan, teknologi, dan masa depan, serta; jejak langkah. Sedangkan secara periodik, pembagian pemikirannya disusun berdasarkan rentang 1948-1966, 1967-1979, 1980-1987, dan 1988-1989. Lalu, dari aspek kewilayahan, pemikirannya tak hanya menyangkut pokok persoalan di Indonesia, tetapi juga Asia dan dunia.

Luasnya cakupan pemikiran Soedjatmoko membuat kita bakal menemukannya sebagai sosok yang tak mudah diberi label. Ia terlalu cakap berbicara banyak topik dengan sama baiknya. Ketimbang berkutat pada satu aspek, ia justru berusaha memahami persilangan aspek-aspek yang menjadi tonggak utama bagi pembangunan manusia dan negerinya. Tak heran bila ia piawai bicara di bidang pendidikan, kebudayaan Indonesia, dan politik nasional hingga internasional. Cakupan yang luas dan beragam itu menunjukkan kesetiaan Soedjatmoko pada visi untuk membangun peradaban yang dari berbagai sisi daripada sekadar menjadi pengikut dari satu kecenderungan berpikir di zamannya.

Oleh sebab itulah, peringatan 100 tahun Soedjatmoko saat ini terjadi di masa yang tepat. Sebagai contoh, di masa pandemi ini berbagai isu-isu krusial di tingkat nasional dan global, seperti pentingnya perspektif lingkungan hidup dan kebudayaan dalam pembangunan, meski sebelumnya tentu sudah dibicarakan, kali ini mendapatkan penegasan dan penebalan yang sedemikian rupa. Tingkat urgensinya semakin tak tertahankan. Dan sejak abad lalu, Soedjatmoko termasuk salah satu intelektual yang telah terlibat aktif dalam penguatan isu tersebut. Rujukan terhadap pengalaman dan pemikirannya di masa lalu tetap diperlukan di masa kini.

Lebih lanjut, dalam rangka peluncuran website tersebut, terdapat rangkaian acara yang memberikan kepada kita gambaran umum dari kisah hidup Soedjatmoko. Sitor Situmorang (1923-2014), seorang penyair besar Indonesia yang juga dikenal sebagai seorang nasionalis tulen, pernah menulis puisi untuk Soedjatmoko, rekan sezamannya itu. Judulnya “Kepada Soedjatmoko”. Puisi yang ditulis dengan bait akhir yang penuh gairah dan semangat ini dibacakan dengan khidmat oleh Putri Ayudya. Selain itu, salah seorang putri Soedjatmoko, Kamala Chandrakirana, menyampaikan kisah ringkas dari perjalanan hidup ayahnya. Dari cerita ini kita dapat merasakan bagaimana ikhtiar mencari dan terus mencari bentuk terbaik dari pembangunan Indonesia telah menjadi gairah utama dalam hidup Soedjatmoko.

Aswendy Bening Swara, dengan penghayatan yang dalam, menampilkan pembacaan surat terbuka Soedjatmoko kepada intelektual yang juga penting di zamannya, yaitu Boejoeng Saleh. Selain mendapatkan sebuah pertunjukan apik, dari pembacaan surat ini kita juga memperoleh pemaknaan yang menarik dari Soedjatmoko tentang “dunia modern”. Menjadi modern, bagi Soedjatmoko tidak semata-mata berarti mengikuti pengertian Barat-kapitalis atau Soviet-komunis. Dengan berkata seperti seperti itu, ia sebenarnya ingin menekankan bahwa bangsa Indonesia juga perlu memberi bentuk tersendiri terhadap kegelisahan manusia zaman itu tentang bagaimana menciptakan dunia modern. Dengan optimis, dalam surat itu, ia menaruh harapan, “Saya yakin bahwa bangsa Indonesia akan dapat memberi suatu jawaban yang Indonesia sifatnya, yang merupakan penjelmaan dari sifat-sifat dan cita-cita bangsa kita. Saya yakin bahwa daya kreatif bangsa Indonesia akan sanggup untuk memberi jawabannya sendiri, dengan tanpa meniru jawaban bangsa lain.”

Hilmar Farid merupakan intelektual zaman ini yang turut mengakui kontribusi pemikiran Soedjatmoko kepada dirinya. Melalui pidato pendek di acara peluncuran website ini, ia mengatakan bahwa tulisan-tulisan Soedjatmoko turut berperan dalam memberikan pantikan awal kepada dirinya perihal kemungkinan untuk menggunakan sumber lain bagi sejarah Indonesia selain dari sumber tertulis, seperti melalui tekstil atau artefak misalnya. Selain itu, yang tak kalah krusial dari Soedjatmoko, perihal peran utama kebudayaan dalam pembangunan, sebab pembangunan bukan cuma soal ekonomi belaka. “Dan hal itu mesti didukung oleh investasi riset,” begitu ujar Hilmar Farid menjelaskan. Dalam pemikiran Soedjatmoko, lanjut Hilmar, pendidikan semestinya tidak cuma untuk mengajarkan cara melihat dunia dengan lebih baik, tetapi juga menciptakan tanggapan jiwa yang berbeda dari generasi sebelumnya: kemampuan melihat sistem yang mapan sebagai produk dari masa lalu dan oleh karena itulah sistem tersebut pasti bisa diubah.

Setidaknya, beberapa kata kunci bisa kita dengar berulang kali ketika bicara pemikiran Soedjatmoko, di antaranya: strategi kebudayaan, insan ilmiah, pembangunan, pelopor, kebebasan manusia, daya kreatif, daya cipta, kemampuan imajinasi, peran penelitian, bersifat Indonesia, teknologi, dan sebagainya. Pada gilirannya, setelah melewati dekade demi dekade, membaca kembali pemikiran seorang tokoh adalah sebuah tantangan yang wajib ditaklukkan bagi generasi hari ini. Di samping menerima masalah dari masa lalu, setiap generasi tetap punya masalahnya sendiri, tapi  selalu ada kata kunci penting yang diwariskan generasi terdahulu sebagai salah satu jalur untuk menapak masa depan yang lebih baik. Dari pemikiran Soedjatmoko, kita tak hanya perlu memperdalam galian dari kata kunci yang sudah ada, tetapi juga sangat krusial bagi kita untuk menemukan kata-kata kunci baru yang masih belum banyak diangkat. Ini semua adalah bagian dari ikhtiar kita untuk memperbaiki segala yang patut diperbaiki.

Untuk itu, sepanjang tahun 2022, berbagai rangkaian diskusi pun diselenggarakan dan diampu oleh beberapa intelektual lintas disiplin dari Indonesia, seperti Melani Budianta, Damayanti Buchori, FX Domini BB Hera, dan Herlambang Wiratraman. Pandangan para intelektual ini menunjukkan betapa luas kontribusi Soedjatmoko. “Tulisan-tulisan Soedjatmoko sangat mendasar, bermakna, dan imajinatif. Tidak hanya ketika masa ia menuliskannya, tetapi juga relevan dengan konteks kita hari ini, dan mungkin juga di masa mendatang,” demikian Herlambang Wiratraman (Dosen FH UGM/Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia) memberikan landasan pentingnya membicarakan kembali pemikiran Soedjatmoko. Sementara itu, Guru Besar Sastra dan Kajian Budaya dari Universitas Indonesia, Melani Budianta, mengatakan bahwa “melalui Soedjatmoko, kita melihat seorang sosok yang sangat langka, yaitu politikus, intelektual, dan diplomat yang secara serius membaca sastra. Ia melihat sastra sebagai penggerak dinamika bangsa. Dan masalah ini masih relevan.”

Tak hanya soal pemikiran, FX Domini BB Hera (Sejarawan/Anggota Kelompok Diskusi Soedjatmoko) juga melihat sisi memori kolektif dari Soedjatmoko, yaitu mengenai sejarah keluarga Soedjatmoko yang mempunyai kaitan penting dengan sejarah tokoh-tokoh lain di Indonesia seperti Dr. Sutomo dan Tirtoadisuryo. “Kita bisa belajar dari sejarah keluarga Soedjatmoko. Memperingati seabad Soedjatmoko dan sejarah keluarganya di Madiun Raya akan menyumbangkan perspektif yang luar biasa bagi historiografi Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, memori personal Damayanti Buchori (Ketua Pusat Studi Sains Keberlanjutan dan Transdisiplin) dengan salah satu pidato Soedjatmoko dapat menjadi  suatu penegasan penting dari harapan Soedjatmoko terhadap para intelektual Indonesia, yaitu penegasan tentang pentingnya menjadi penguasa (master) dari ilmu yang kita pelajari. “Selama Anda masih menjadi budak dari pengetahuan Anda, selama itu pula Anda belum dapat dikatakan berhasil mengubah diri Anda menjadi insan ilmiah yang diperlukan bagi pembangunan dan modernisasi di Indonesia,” demikian Damayanti membacakan kembali kutipan pidato yang menggugah tersebut.


Penulis

Heru Joni Putra adalah seorang penulis yang juga bekerja sebagai kurator seni. Karya pertamanya “Badrul Mustafa, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa” (2017) diganjar sebagai Buku Puisi Terbaik versi majalah Tempo (2018) dan Wisran Hadi Award (2019). Buku terbarunya “Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka” (2021). Sekarang tinggal di Yogjakarta.