Pemikiran Soedjatmoko tentang Intelektual, Regional, dan Pembangunan dalam Dunia yang Berubah

Pada tanggal 7 April 2022, tim Membaca Soedjatmoko bekerjasama dengan Yale University mengadakan webinar untuk mendiskusikan perjalanan intelektual dan pemikiran Soedjatmoko mengenai intelektual dan negara, regionalisme dan transformasi Dunia Selatan, dan pembangunan dalam konteks global. Mengikat ketiga tema besar itu, penyelenggara mengundang tiga sejarawan lintas benua, Farabi Fakih (Universitas Gadjah Mada, Indonesia), Su Lin Lewis (University of Bristol, Inggris), dan David C. Engerman (Yale University, Amerika Serikat) dalam diskusi berjudul “Soedjatmoko and His Intellectual Engagements: From Indonesia to the World”. Diskusi yang diadakan malam hari setelah berbuka puasa itu menarik antusiasme publik, tercatat lebih dari 100 orang hadir menyaksikan perbincangan akademik ini secara online.

Farabi Fakih, sejarawan Universitas Gadjah Mada, memulainya dengan mendiskusikan pemikiran awal Soedjatmoko tentang peran intelektual di tahun 1950-an-1960-an, dan bagaimana gagasan tersebut berkorespondensi dan bersitegang dengan kekuasaan di Indonesia. Tahun 1950 sampai 1965 adalah era penting dalam perjalanan intelektual dan aktivisme Soedjatmoko. Sebuah periode di mana ia sepenuhnya berkiprah dalam dunia intelektualisme dan terjun ke gelanggang politik setelah periode singkatnya berkarir sebagai diplomat di era Revolusi (sejak 1947-1951). Ia kembali menjadi editor jurnal sosialis Siasat, terlibat sebagai salah satu kreator di harian Pedoman yang terafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), merancang jurnal kebudayaan dan politik Konfrontasi, dan mendirikan penerbitan Pembangunan. Soedjatmoko semakin dekat dengan mentor politiknya Sjahrir, bergabung secara formal dengan PSI di tahun 1955, mengikuti pemilu demokratis pertama di tahun 1955, dan terpilih sebagai anggota Konstituante di tahun 1956.

Era 1950-an menawarkan optimisme untuk membangun Indonesia baru. Sebuah proyek yang tertunda akibat gejolak dan perang di masa Revolusi. Soedjatmoko adalah bagian dari intelektual Indonesia yang melihat kesempatan itu dan ikut terlibat dengan gagasan cemerlangnya. Pemikiran utamanya tentang kebebasan dan otonomi, berdasarkan pandangan dari Ignas Kleden yang ditarik oleh Fakih, kelihatan di era ini. Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah di mana hubungan kolonial yang tidak adil yang dialami oleh orang Indonesia telah merampas hal yang sangat berharga dalam kehidupannya sebagai manusia: arti dan makna hidup itu sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Soedjatmoko dalam pidato di Harvard tahun 1949, dan menurutnya perjuangan orang Indonesia adalah memenangkan kembali hal yang dirampas itu: mengembalikan kebebasan dan otonomi di negara merdeka.

Untuk itu, menurut Fakih, ada dua proyek besar di tahun 1950-an yang digagas oleh Soedjatmoko untuk membangun manusia dan masyarakat Indonesia yang baru dan modern. Pertama, berkaitan dengan sejarah Indonesia dengan menulis ulang sejarah nasional menggunakan perspektif Indonesia. Soedjatmoko berbicara hal ini dalam sebuah pidato di Seminar Sejarah Nasional pertama yang bersejarah di Universitas Gadjah Mada di tahun 1957. Meskipun ia berpikiran bahwa proyek ini dapat menyediakan ruang bagi orang-orang Indonesia untuk merebut kembali tempatnya, yang tidak didapatkan dalam penulisan sejarah kolonialsentris, Soedjatmoko mewanti-wanti bahwa penelitian ilmiah perlu dilakukan agar sejarah tidak tersubordinasi oleh kepentingan politis, terperangkap dalam mitos-mitos nasional, uniformitas, dan propagandistik. Kedua, berkenaan dengan pembangunan Indonesia dan hubungannya dengan kebudayaan dan relasi sosial. Menurut Soedjatmoko, untuk membangun Indonesia yang modern diperlukan partisipasi masyarakat Indonesia yang memiliki pikiran saintifik dan kritis, dengan demikian diperlukan perubahan mentalitas manusia Indonesia secara kultural dan sosial.

Namun, gagasan Soedjatmoko tentang peran intelektual, kebebasan, dan otonomi menghadapi tantangan ketika Soekarno membubarkan Demokrasi Parlementer, dan mengumumkan Demokrasi Terpimpin. Konstituante, di mana Soedjatmoko adalah salah satu anggotanya, ikut dibubarkan. Soedjatmoko sendiri, menurut Fakih, sempat ditawarkan untuk ikut menjadi bagian pemerintahan yang baru ini. Namun ia menolak permintaan dari Sukarno. Di masa Demokrasi Terpimpin, Soedjatmoko melihat bahwa iklim kebebasan dan otonomi intelektual dikikis oleh kekuasaan dan para pendukungnya yang lebih suportif terhadap pembangunan negara, berpegang pada ideologi dan prinsip politik tertentu, dan mempersempit ruang terhadap pemikiran dan kreativitas yang diametral dengan negara. Fakih berpendapat bahwa Soedjatmoko menolak pembangunan yang koersif. Dan sejatinya Soedjatmoko, menurut Fakih, meskipun tergabung dalam PSI dan berada dalam lingkaran utama Sjahrir, cenderung berpendirian non-ideologis, karena intelektual yang memegang posisi ideologis tertentu kesulitan mendapatkan critical engagement.

Sementara itu, Su Lin Lewis, sejarawan dari University of Bristol, melacak keterlibatan regional Soedjatmoko di Asia dan dunia Afro-Asia. Bagaimana partisipasi dan interaksi lintas internasional ini membentuk pemikirannya tentang non-blok, integrasi regional, dan pembangunan humanis. Soedjatmoko telah terlibat dalam konferensi internasional sejak awal Indonesia merdeka. Di tahun 1947, Soedjatmoko menjadi salah satu delegasi Indonesia dalam the Asian Relations Conference di New Delhi, sebuah konferensi antar negara Asia pertama di era poskolonial di tanah air mereka sendiri. Inilah pertama kalinya Soedjatmoko ke India dan bertemu dengan Jawaharlal Nehru, Mahatma Gandhi, dan Sarojini Naidu, yang merupakan presiden konferensi. Pertemuan ini memberikan impresi terhadap Soedjatmoko pada persoalan pembangunan pascakolonial. Itulah salah satu tujuan diadakan konferensi ini, untuk mereview posisi Asia di era transisi dan membahas persoalan yang menjadi perhatian bersama: migrasi inter-Asia, pembangunan ekonomi dan rekonstruksi agraria, kesehatan masyarakat dan kesejahteraan sosial, kerjasama kebudayaan dan status wanita. Soedjatmoko merefleksikan kembali peristiwa ini ketika kembali ke New Delhi di tahun 1982, memberikan Jawaharlal Nehru memorial lecture: strong winds are blowing all over Asia. Let us not be afraid of them but rather welcome them for only with their help can we build the Asia of our dreams.

Su Lin mencatat bahwa setelah tugas diplomatik selesai di Amerika Serikat, Soedjatmoko mengikuti tantangan Sjahrir untuk mencari model politik dan ideologis yang cocok untuk Asia dengan berkeliling ke Eropa Barat dan Timur selama sembilan bulan. Soedjatmoko tidak sreg dengan seluruh model kecuali Yugoslavia, di mana komitmen mereka untuk tidak mengikuti jalur Uni Soviet dan Amerika Serikat, dan menetapkan contoh ‘jalan ketiga’. “Fokus Yugoslavia terhadap self-management pekerja, efisiensi industrial, dan keadilan sosial dapat menjadi contoh banyak negara sosialis Asia,” menurut Su Lin. Soedjatmoko pergi ke Burma di tahun 1953, menghadiri the Asian Socialist Conference sebagai jurnalis bersama mayoritas anggota PSI. Delegasi dari partai sosialis di wilayah Asia datang, di antaranya dari India, Burma, Malaya, Jepang, Lebanon, Pakistan, sampai Israel. Milovan Djilas dari Yugoslavia, Clement Attlee mantan Perdana Menteri Inggris, dan peninjau dari Tunisia, Pantai Emas, Uganda, Kenya, dan Aljazair juga hadir. Konferensi ini penting karena beberapa hal. Pertama-tama, ia meletakkan dasar bagi negara sosialis-demokratik dan menyediakan visi teknokratik atas transformasi sosial yang dipimpin negara, kesejahteraan sosial, keamanan, dan penekanan kepada hak individual, kebebasan pers dan berserikat, dan kesetaraan hak terhadap perempuan. Menurut Su Lin, esensi sosialisme demokratik didefinisikan sebagai, “Mengupayakan untuk mencapai kebahagiaan, keadilan dan martabat yang lebih besar, dan kesempatan sepenuhnya untuk mengekspresikan diri sebagai manusia.” Argumentasi ini mengamplifikasi poin yang telah dipaparkan oleh Farabi Fakih sebelumnya.

Awal tahun 1960-an adalah masa yang berat bagi Soedjatmoko; ia menyaksikan kolega-koleganya di PSI ditangkap dan partainya juga dibubarkan oleh pemerintah. Soedjatmoko juga memilih tidak terafiliasi secara politik untuk menghindari masalah. Meskipun demikian, di awal tahun 1960-an adalah era di mana Soedjatmoko semakin fokus menulis perihal Asia Tenggara sebagai wilayah. Di tahun 1967, sebagai buntut dari bentrokan Perang Dingin, ASEAN didirikan. Meskipun Su Lin belum tahu sejauh mana ada andil Soedjatmoko dalam pendirian ASEAN, namun Soedjatmoko melihat bahwa spirit dari ASEAN adalah percepatan pembangunan ekonomi dan mengintegrasikannya sebagai satu kesatuan daripada sebagai aliansi militer. Soedjatmoko menulis makalah di PBB tahun 1969, ketika Perang Vietnam berkecamuk, berjudul “The Re-Emergence of Southeast Asia: An Indonesian Perspective.” Pada artikelnya, ia mengemukakan bahwa pada akhirnya bukan warna politik rezim yang diperhitungkan, tetapi kapasitasnya dalam pembangunan dan nation-building. Ini menunjukkan pragmatisme dan kecenderungan Soedjatmoko untuk tidak berdiri dogmatis pada satu ideologi—seperti yang telah diungkapkan Farabi Fakih.

Dari keterlibatan internasional dan pemikiran Soedjatmoko tentang regionalisme, sebagai sejarawan Su Lin mengingatkan tentang kemungkinan solidaritas regional dan Non-Blok di Dunia Selatan. Seruan Soedjatmoko pada masa dahulu bisa dilakukan dengan menemukan kembali koneksi awal seputar dekolonisasi, gagasan kerjasama antar-wilayah, atau pembangunan di luar jangkauan para birokrat.

David C. Engerman, dosen sejarah dari Yale University, mendalami evolusi pemikiran Soedjatmoko mengenai pembangunan dalam konteks global. Ia memulai pembahasannya dengan menceritakan sejarah teori pembangunan berpusat pada manusia. Sebuah pendekatan korektif di tahun 1990an terhadap pendekatan pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan pendapatan nasional yang dominan di era 1950-an-1960-an. Engerman membahas tema ini melalui penelusuran biografis dua ekonom ternama dari Pakistan dan India, Mahbub ul Haq dan Amartya Sen, yang bersahabat sejak sekolah di Cambridge University di tahun 1950-an. Di awal karirnya sebagai ekonom di akhir tahun 1950-an dan 1960-an, keduanya meyakini pendekatan pertumbuhan ekonomi sebagai model kebijakan pembangunan yang pas. Namun, pengalaman Haq sebagai kepala ekonomi di Komisi Perencanaan Pakistan di tahun 1960-an mengubah pemikirannya, mengkritik kebijakan resmi negara yang mengutamakan growth-first yang berdampak pada meningkatnya ketimpangan ekonomi di Pakistan. Haq kemudian meninggalkan Pakistan ke Washington, mengambil tawaran sebagai penasehat senior Bank Dunia. Ia mulai menguraikan strategi baru yang dinamakan basic human needs (kebutuhan dasar manusia), berargumen bahwa kebutuhan dasar manusia seperti air minum yang aman, kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal tidak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Konsepsi ini dikembangkan sebagai Human Development Index (HDI) dengan berbagai metrik menyertai, menghiasi keprihatinan di lingkaran pembangunan liberal selama tahun 1980-an. Sementara itu, Amartya Sen yang berupaya meredefinisi tujuan pembangunan yang lebih memperluas kesempatan masyarakat, menolak fetisisme pada PDB per kapita dan melihat aspek-aspek yang dapat memperbaiki person’s well being (kesejahteraan seseorang). Dalam kuliahnya yang kemudian diterbitkan sebagai Development as Freedom tahun 1999, Sen menguraikan visi pembangunan yang melampaui pertumbuhan ekonomi, bersikeras bahwa kebebasan adalah tujuan yang terpuji bagi dirinya sendiri. Pembangunan, menurut Sen, adalah menempatkan perspektif kebebasan di tengah panggung; kondisi material hanyalah salah satu bagian dari gambaran, dan kebebasan budaya dan politik adalah aspek yang perlu diperhitungkan.

Engerman mengingatkan bahwa jalan alternatif menuju visi pembangunan yang lebih luas telah tersedia lebih awal dalam tulisan-tulisan Soedjatmoko. Meskipun berjarak dari dunia expertise pembangunan, Soedjatmoko telah mengguratkan pemikirannya tentang pembangunan dalam tulisan-tulisan, ceramah-ceramah, dan serangkaian kuliah yang kemudian diterbitkan pada tahun 1979 dengan judul Development and Freedom. Dalam karya ini Soedjatmoko memasukkan pendekatan Basic Human Needs (BHN) Haq, namun dengan memperluasnya juga dengan mengikutkan aspek politik yang terabaikan. Soedjatmoko telah mengantisipasi pemikiran pembangunan berpusat manusia di tahun 1990-an, menggarisbawahi sempitnya BHN yang dirumuskan Haq dan timnya di Bank Dunia: pembangunan tidak hanya membutuhkan teori ekonomi, tetapi juga teori politik. Soedjatmoko mengatakan bahwa diperlukan transformasi daerah pedesaan yang luas melalui reformasi tanah, demokratisasi, pendidikan, otonomi lokal, dan kebebasan dasar untuk menyediakan kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal dalam BHN. Sebelum meluasnya NGO di tahun 1980-an dan 1990-an, yang kemudian menjadi penghubung di lapangan dari pendekatan kemanusiaan ekonomi yang dipopulerkan Haq dan Sen, Soedjatmoko telah mengatakan keuntungan adanya organisasi non-pemerintah. Ia juga mendorong ‘perubahan dari bawah’ di tahun 1971 melalui asosiasi-asosiasi sukarela dan menekankan pendekatan dari bawah ke atas, bukan sebaliknya.

Yang penting dicatat dari pembahasan Engerman adalah ada tiga tema menarik dalam Development and Freedom: segitiga antara perubahan, ketertiban, dan keadilan. Soedjatmoko mencatat kegagalan pembangunan juga berhubungan dengan sempitnya visi, seperti mengabaikan pertimbangan aspek politik. Ia mengkritik para pejabat pembangunan Barat yang sangat cepat menerima pembangunan otoritarian di Dunia Ketiga, sementara ilmu politik Barat memiliki fokus berlebihan terhadap mengelola perubahan yang teratur – sesuatu yang menurut Engerman bukan hanya fenomena Barat. Soedjatmoko berefleksi bahwa ada paradoks juga dalam negara-negara baru. Meskipun negara baru adalah materialisasi dari keinginan untuk bebas dan merdeka, kecenderungan negara untuk mengatur populasi miskin dan fragmentasi dalam pemerintahan berdampak pada upaya negara mengejar kekuasaan. Negara-negara ini kemudian menjadi apa yang Soedjatmoko sebut sebagai ‘memodernisasi negara-negara birokratis’ (modernizing bureaucratic state). Engerman melihat bahwa refleksi Soedjatmoko ini berakar pada pengalaman kolonial dan poskolonial Indonesia.

Visi luas pembangunan Soedjatmoko tidak terbatas hanya pada kebijakan ekonomi, tetapi juga melihat perubahan politik, transformasi sosial, faktor budaya, dan bahkan agama. Ia menekankan pembangunan sebagai “sarana pembebasan manusia.” Pembangunan membebaskan orang miskin dan lemah secara sosial dari struktur sosial yang usang dan menindas, dan ini adalah proses yang tidak hanya memerlukan pendekatan ekonomi tetapi perhatian pada pertumbuhan pribadi.

Penulis

Wildan Sena Utama, dosen sejarah UGM dan kandidat doktor di Departemen Sejarah, University of Bristol.