Menerawang Sosok Intelektual yang Abadi: Analisa Kasus Rusia VS Ukraina Melalui Tulisan-tulisan Soedjatmoko

Nama Soedjatmoko sering terdengar dalam berbagai bentuk, baik menjadi nama gedung, layaknya “Balai Soedjatmoko” di Surakarta maupun menghiasi judul-judul buku. Ia tersohor sebagai seorang intelektual pada zamannya. Lantas, sebenarnya siapakah sosok Soedjatmoko dan mengapa kata “intelektual” selalu dilekatkan padanya?

Sekilas Mengenai Soedjatmoko

Soedjatmoko atau yang akrab disapa “Koko” lahir pada 10 Januari 1922. Ayahnya merupakan seorang bumiputra yang bernasib baik di Hindia-Belanda. Namanya, Mohammad Saleh Mangundiningrat, seorang Assisten Chirurgie (asisten operasi) di Batavia yang pada 1919 dipindahkan ke Rumah Sakit Sawahlunto untuk menduduki jabatan sebagai kepala rumah sakit. Sementara ibunya, R.A. Isnadikin Tjitrokusumo adalah seorang perempuan yang setia mendampingi suaminya. Dikarenakan mengikuti domisili pekerjaan ayahnya, Koko terbiasa untuk berpindah-pindah tempat tinggal dan dari sanalah ia mengenal keberagaman dunia secara lebih luas (Nursam, 2002: 14-16).

Berpindah-pindah tempat tinggal membuat Koko harus pandai untuk bergaul dengan teman-temannya dan dengan dirinya sendiri. Ia bergaul dengan dirinya dengan cara menenggelamkan diri dalam lautan buku. Sejak usia Sekolah Dasar, Koko telah membaca seri sejarah dan petualangan, seperti karya Jules Verne, Hendrik Willem, serta seri filsafat Yunani. Satu diantaranya ialah Leven en van Grote Dankers (Hidup dan Pelajaran Pemikir Besar). Dengan bacaan-bacaan tersebut, Koko terpilih menjadi ketua debatter club di Hogere Burger School (HBS) pada 1936. Melihat pencapaian sang anak, Mohammad Saleh sangat bangga dan menitipkan wejangan (pesan) demikian (Nursam, 2002: 17-23):

“Ko, kamu sebentar lagi akan menjadi dewasa, tapi saya ingin beritahu sesuatu kepada kamu tentang filsafat hidup saya, yaitu ‘saya tidak mau terikat kepada benda’. Jangan kamu harapkan kalau saya meninggal bakal ada warisan (harta benda) bagi kamu. Saya mencoba memberi kepadamu pendidikan sebaik-baiknya. Sesudah itu, terserah kepada kamu dan kepada Tuhan”.

Anggota Amir, Mendukung Sjahrir

Wejangan dari ayahnya, sungguh menjadi bekal bagi Koko. Pada 1940 dirinya menjadi mahasiswa di Geneeskundige Hoge School (GHS) dan benar-benar mengamalkan wejangan ayahnya dengan membuat jaringannya sendiri. Disana Koko bertemu dengan Soedarpo Sastrosatomo, Soebandrio, Sutan Takdir Alisjahbana, bahkan Amir Sjarifuddin. Pada masa pendudukan Jepang, Koko masuk ke dalam anggota gerakan bawah tanah yang dikoordinir oleh Amir. Ia merasa memiliki ideologi yang cocok dengan Amir yakni demokrasi dan fasisme (Nursam, 2002: 32). Dalam perkembangannya, perubahan ideologi dalam diri Amir, membuat Koko merasa kurang nyaman. Ia pun memutuskan untuk mencari tempat lain yang sejalan dengan dirinya. Sampailah ia pada Partai Sosialis Indonesia (PSI).

PSI adalah partai yang digawangi oleh Sutan Sjahrir, suami dari kakaknya, Poppy. Kendati begitu, keikutsertaan Koko ke dalam PSI bukan didasarkan atas alasan keluarga. Pemikiran sosialisme kerakyatan menjadi penghubung antara Koko dengan Sjahrir. Djohan Sjahroezah selaku pengelola majalah Sikap (majalah PSI) menyebutkan bahwa Soedjatmoko menjadi salah satu orang yang aktif menyumbang tulisan untuk majalah tersebut (Ngasiran, 2015: 202-203). Secara tidak resmi melalui tulisan-tulisannya, Koko sudah menjadi “anggota” PSI sejak awal pembentukannya. Tetapi secara resmi, ia baru benar-benar menjadi anggota PSI sejak 1955 untuk memenuhi ketentuan formal dalam pemilihan umum (pemilu) 1955. Memang benar, dalam pemilu pertama yang digelar untuk memilih anggota konstituante itu, Koko berhasil terpilih sebagai perwakilan PSI. Di sana, Koko berpidato untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Misalnya, dalam sidang konstituante 30 November 1957, Koko berpidato tentang “Totaliter dan Kerakyatan”. Ia bertanya, “Apakah pembangunan negara dan masyarakat akan dilaksanakan dengan cara totaliter atau dengan cara bebas, berdasarkan kerakyatan?” (Nursam, 2002: 106-108).

Terpilih sebagai bagian dari konstituante, tidak membuat Koko melupakan partai tempatnya bernaungnya. Koko tetap aktif di PSI, misalnya saat ia mewakili PSI dalam Konferensi Sosialis Asia 1953 yang bertempat di Rangoon (Siasat, 25 Januari 1953). Ia pergi ke sana menemani Sutan Sjahrir, selaku ketua delegasi Indonesia (Pedoman, 5 Januari 1953). Koko sangat setia dengan PSI, bahkan sampai partainya itu dibubarkan pada 17 Agustus 1960 (Nursam, 2002: 118).

Menjadi Duta Besar

Pembubaran PSI membuat Koko enggan untuk kembali terjun ke dunia politik praktis. Kendati demikian, nasibnya lebih baik daripada nasib kawan-kawan PSI-nya. Pada Agustus 1961 hingga Januari 1962, Koko meninggalkan Indonesia untuk menjadi dosen tamu di Cornell University. Selama absen dari Indonesia inilah, banyak tokoh-tokoh PSI yang ditangkap. Akan tetapi, ketika ia kembali, ia sama sekali tidak ditangkap (Nursam, 2002: 121-120). Bahkan pada masa pemerintahan Soeharto atau yang kerap diistilahkan sebagai “Orde Baru”, Koko justru ditunjuk sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat pada 1968. Selama menjadi duta besar, Koko bertugas untuk menjelaskan situasi pemerintahan Indonesia yang baru, terutama kepada para pengusaha. Atas dasar itulah, Koko sering melakukan lawatan keliling ke kota-kota kecil yang dalam istilah sekarang lebih populer sebagai blusukan.

Selain melakukan tugas-tugas di atas, Koko juga tetap menjadi dirinya sendiri dengan kegemaran membaca dan menulisnya. Selama di Amerika Serikat, puluhan tulisan ia hasilkan dan beberapa diantaranya dibacakan di forum-forum internasional, antara lain Cultural Obstacles in Southeast Asia to Developmental Research (1968); Understanding a Developing Nation: An Interior View (1968); Art and Modernization (Public Lecture) (1968); Stereotypes and Realities (1969); Imperatives for International Development (1969); The Re-Emergence of Southeast Asia ‘An Indonesian Perspective’ (1969); Southeast Asia in World Politics (1969); Foreign Private Investment Abroad: An Indonesian Perspective (1969); Soul and Society: An Asian Commentary on Western Counter Culture (1969); The Intellectual in a Nation (1970); Southeast Asia in the 1970’s: The New Multipolarity (1970); National Development and Regional Cooperation (1970); Problems and Prospectus for Development in Indonesia (1970); Religions and the Development Proccess Asia (1970); Thoughts on Departure from the Unites States (1971); dan The Significance of Voluntary Organisations in Development (1971) (Nursam, 2002: 167). Kesemua tulisan tersebut bersifat global, ilmiah, logis, dan diperoleh dari hasil analisis. Maka, tidak mengherankan apabila kata “intelektual” selalu dilekatkan kepada Koko.

Menerawang Sosok Intelektual yang Abadi

Ada beberapa tulisan Koko yang menarik untuk diperbincangkan karena biarpun ditulis oleh seorang yang hidup di abad XX, tetapi dapat relevan dengan kehidupan global di abad XXI. Misalnya saja yang paling ketara ada dalam Learning to Live in the 21st Century yang ditulis oleh Koko pada 1980. Terdapat sebuah kalimat yang berbunyi demikian, “The world of the 21st century will not be determined by any economic or technological projections that we make, but by moral choices.” Kalimat tersebut bisa dianalisa dengan mengambil contoh kasus terkini, Rusia VS Ukraina. Pemimpin Rusia, Vladimir Putin menginginkan beberapa hal yang perlu dipenuhi oleh pemimpin Ukraina, Volodymyr Zelensky. Salah satunya, Putin menginginkan agar Ukraina berada dalam posisi netral tanpa bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Tetapi, alih-alih menempuh pilihan moral dengan berdiplomasi, Putin justru menyerang Ukraina. Bahkan, dengan kondisi yang kurang baik, awalnya Zelensky tetap “ngotot” bergabung dengan NATO, tetapi kemudian dibatalkan. Di sini terlihatlah bagaimana sedari dulu, Koko sudah menyarankan (mewanti-wanti) agar pilihan didasarkan pada moralitas yang dalam konteks ini bisa ditafsirkan dengan cara-cara yang elegan tanpa mengacaukan perdamaian global. Maka, tulisan Koko sejatinya bisa dijadikan pertimbangan dalam kondisi terkini.

Tulisan lain yang tidak kalah menarik ialah Personal and Social Responsibility in the Search for Mental Health yang ditulis Koko pada 1983. Menyambung contoh kasus di atas, sebuah kalimat, “One certain measure of the madness afflicting the world is the shadow of nuclear annihilation which we have cast over ourselves”. Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, memang bayangan nuklir telah menjadi nyata dalam kasus Rusia VS Ukraina. Dalam beberapa video yang beredar di media sosial, dapat dilihat bahwa Rusia mengancam akan menyerang menggunakan senjata nuklir. Benarlah kalimat Koko bahwa manusia hidup dalam bayangan nuklir.

Berikutnya, penegasan mengenai relevansi tulisan Koko terhadap kondisi Rusia dan Ukraina dapat pula disimak dalam Policymaking for Long Term Global Issues (1987):

“The achievement of decolonization has rewritten the political map, multipled the number of actors in the state system, and opened a channel for the expression of the aspirations of the Thirld World. There has been a revolution of mobility and communication, so that the problems and conflicts of one group of people can no longer be confined to one corner of the globe.”

Penjelasan sederhana terkait dengan kasus dari kedua negara tersebut adalah permasalahan dan konflik dari sebuah dan/atau beberapa kelompok, tidak lagi terbatas pada satu bagian dunia saja. Biarpun Rusia dan Ukraina yang berkonflik, tetapi negara lain juga turut terdampak dan terlibat. Negara lain ikut memberikan sanksi kepada Rusia, misalnya Presiden Joe Biden yang memberi sanksi kepada Rusia dengan melarang 13 perusahaan yang dimiliki oleh Rusia untuk menggalang dana di Amerika Serikat, serta Kerajaan Inggris yang menjatuhkan sanksi pada lima bank Rusia. Inilah yang menunjukkan solidaritas antar negara dalam merespons suatu peristiwa melalui policymaking. Koko seolah sudah berpikir jauh ke depan bahwa akan ada sebuah tren demikian. Dengan begitu, dapat ditarik intisari bahwa tulisan-tulisan Soedjatmoko atau Koko relevan dengan jiwa zaman yang sedang terjadi. Maka nyatalah sudah, dirinya sebagai sosok intelektual yang abadi bagi kancah global alias dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Nursam, M. 2002. Pergumulan Seorang Intelektual: Biografi Soedjatmoko, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pedoman, 5 Januari 1953. Utusan ke Konperensi Sosialis Asia jang Akan Dimulai Besok di Rangoon. Pp. 1.

Siasat, 25 Januari 1953. Konperensi Sosialis Asia. Pp.5-6.

Soedjatmoko. 1980. Learning to Live in the 21st Century. https://membacasoedjatmoko.com. Diakses pada 27 Maret 2022.

Soedjatmoko. 1983. Personal and Social Responsibility in the Search for Mental Health. https://membacasoedjatmoko.com. Diakses pada 28 Maret 2022.

Soedjatmoko. 1987. Policymaking for Long Term Global Issues. https://membacasoedjatmoko.com. Diakses pada 28 Maret 2022.

Penulis

Pratika Rizki Dewi. Lahir di Surakarta, 10 Juli 1998. Pratika adalah alumni S1 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM). Semasa kuliah, Pratika terpilih menjadi mahasiswa berprestasi (2019), menjuarai berbagai perlombaan menulis (2018-2020), menjadi asisten dosen, dan berkontribusi dalam berbagai proyek sejarah. Sekarang, ia berkarier sebagai pegiat sejarah dan peneliti independen. Karya-karyanya dapat dijumpai di surat kabar, jurnal, maupun media online. Pratika menggemari kajian seputar Jawa, kolonial, 1950-an, sosial-politik, konstruksi, dan perempuan.