Soedjatmoko Dalam Sebuah Relevansi: Di Antara Pengetahuan, Pembangunan, dan Masa Depan

Di dalam dunia yang penuh dengan benturan nilai-nilai, di antara lalu-lalang dan kerumunan masa yang berhamburan bersama kepentingan masing-masing, di sepanjang chaos tanpa akhir, seorang pemikir selalu hadir, bergulat dan merumuskan pikirannya ke tengah masyarakat. Di Indonesia lahirnya sebuah pemikiran selalu menjadi hal yang hangat dan menarik, karena ada pergulatan besar pada masa transisi ketika kita beralih menuju dunia modern.

Generasi intelektual Indonesia yang berkarya melalui transisi dua zaman, dari pra-kemerdekaan menuju kemerdekaan, niscayalah bergulat dengan tema pencaharian nilai baru untuk bangsa yang belia ini. Ada yang mesti selalu dirumuskan dalam pertanyaan maupun ketidaktahuan. Subyek manusia selalu jadi pokok.

Ada yang percaya pada sebuah kontinuitas, sementara beberapa kalangan berpegang pada diskontinuitas yang mutlak. Bangsa kita sejatinya punya narasi sejarah masing-masing yang bernilai subversi; apakah narasi tersebut akan “diteruskan” dan “diwariskan”, atau dari sana kita akan menciptakan hal yang sama sekali lain. Perdebatan soal ini seakan tak menemui akhir.

Tapi ingatlah apa yang telah dikerjakan H.B. Jassin, selama transisi pra-Indonesia menuju Indonesia. Ia meletakkan dan merumuskan bagaimana sebuah bangsa baru memiliki rasa bahasa yang berbeda dari induknya, di sini bahasa Melayu semenanjung. Dan bagaimana seharusnya sastrawan menggunakan “rasa bahasa” itu dalam menyampaikan karya-karya mereka.

Atau apa yang dikerjakan Ahmad Wahib seorang pemikir muslim yang menempatkan dan memikirkan kembali bagaimana masyarakat muslim hidup dalam dan realita yang pluralis dalam kehidupan sosial di Indonesia. Nama-nama lain seperti yang saya sebut tentu sangat banyak apabila saya bariskan satu per satu di sini.

Begitu pula seorang Soedjatmoko, seorang intelektual dan diplomat, meletakkan pikirannya di depan zaman dan masyarakat yang tengah berkembang. Ia juga adalah salah satu pemikir Indonesia yang hidup pada dua zaman. Namun ia sedikit berbeda dibandingkan dua nama yang saya sebut di atas.

Tulisan-tulisan Soedjatmoko berkisaran lebih lebar cakupannya dan sering disebut oleh kalangan sesama intelektual sebagai hal yang normatif. Ia bisa menanggapi sebuah diskusi seni rupa sekitaran 1960-an. Di waktu dan tempat yang lain, ia bisa juga menanggapi soal-soal kesusastraan dan politiknya di majalah Konfrontasi sekitaran 1950-an. Ia juga membicarakan konflik di dalam dunia ketiga, persoalan agama, teknologi dan pembangunan, tentu saja menyinggung soal kemanusiaan dan seterusnya dan seterusnya. Ia tak hanya berminat pada satu bidang, selayaknya yang dikerjakan dua nama yang saya sebut di atas.

Berdasarkan rangkaian diskusi yang berlangsung pada Kamis lalu, Membaca Soedjatmoko: Pengetahuan, Pembangunan dan Masa Depan Indonesia, saya merasakan kembali keresahan dari tulisan-tulisan Soedjatmoko pada masanya sekaligus tulisan-tulisan para pembicara pada masa ini. Sebagian besar pembicara, yang terbagi dalam dua sesi, memang meneguhkan tulisan Soedjatmoko sebagai relevansi persoalan yang kita hadapi hari ini.

Pada sesi pertama, pembicara pertama, Frumens Arwan mencoba memposisikan kembali pokok-pokok pemikiran Soedjatmoko di tengah beberapa kritik yang tersemat pada Soedjatmoko dan yang membelanya. Salah satunya adalah kritik dari Arief Budiman tentang sifat dan karakter normatif yang terbaca dalam tulisan-tulisan Soedjatmoko. Arief Budiman menganggap hal itu menunjukkan kelemahan Soedjatmoko karena tidak menganalisa keadaan berdasarkan sebuah teori.

Tapi di sini, Frumens Arwan membela Soedjatmoko. Arief Budiman, bagi Frumens Arwan, menuntut Soedjatmoko untuk menjadi seorang ilmuwan. Padahal tuntutan sikap tersebut, masih menurut Frumens Arwan, tidaklah relevan bagi selera intelektual Soedjatmoko. Frumens Arwan mesti mengutip pendapat Ignas Kleden ke dalam perdebatan ini untuk melihat kembali terminologi yang membedakan intelektual dan ilmuwan. Jelas bagi Ignas, bahwa seorang ilmuwan adalah ia yang berfokus pada satu bidang ilmu, sementara intelektual melintasi sekat-sekat ilmu. Di titik ini Frumens Arwan membalikkan pernyataan Arief Budiman.

Frumens Arwan juga menyoroti lapisan-lapisan filosofis dalam tulisan-tulisan Soedjatmoko. Frumens Arwan mengemukakan contoh-contoh bagaimana lapisan filosofis itu hadir dalam tulisan-tulisan Soedjatmoko dengan jujur dan wajar.

Pembicara kedua, Ayu Ambarwati dalam pemaparan dan makalahnya berupaya mendedahkan bagaimana perjalanan spiritual Soedjatmoko mengilhami ide-ide yang ia kemukakan. Bagi Ayu Ambarwati, perjalanan spiritual itu adalah proses sejak Soedjatmoko yang lahir dari kalangan priyayi Jawa, tumbuh dalam lingkungan kosmopolit, termasuk bagaimana peran ayah Soedjatmoko mendidik dan membentuk karakter dan pikirannya. Poin terakhir yang menggolongkan Soedjatmoko sebagai figur manusia polimatik saya tangkap sebagai puncak dari perjalanan spiritual Soedjatmoko.

Sesi pertama ditutup oleh Muhammad Naufal Rizqulloh, Kasmiatun, Siti Latifah, Dinda Ahlul Latifah. Naufal dkk hendak mengkonkretkan kembali persoalan pembangunan dan kemanusiaan yang sebenarnya selalu kita hadapi dari masa ke masa. Seperti halnya Soedjatmoko, Naufal dkk yakin bahwa kesadaran sejarah berhubungan dalam soal pembangunan dan kemanusiaan. Kesadaran sejarah ini juga mencakup pekerjaan penelitian sejarah yang bebas, tanpa terikat kepada satu warna tertentu.

Pada sesi kedua yang berjudul “Pesan Peradaban: Ilmu Pengetahuan, Identitas dan Masa Depan Indonesia” kita bergulat tentang kapitalisme digital; perkembangan teknologi, krisis ekologi dan konflik peradaban; hingga konflik dan identitas manusia Indonesia.

Pembicara pertama, Dzatmiati Sari mempertanyakan apakah perkembangan teknologi di era 4.0 ini telah dimanfaatkan untuk hal-hal yang bijak dan selaras dengan tujuan ideal seperti yang diharapkan Soedjatmoko? Melalui tulisannya berjudul “Soedjatmoko dan Problem Kapitalisme Masa Kini: Digital Capitalism”, Dzatmiati Sari menyoroti soal “manusia baru”, terma yang pernah menjadi pokok yang disampaikan Soedjatmoko pada tahun 1989.

Jalan mencapai “manusia baru” seperti yang dikemukakan Soedjatmoko sesungguhnya bagi saya sendiri terlampau terjal, ideal dan bernada utopia. Bagaimana melahirkan manusia yang serba tahu, mampu beradaptasi dalam lingkungan apa pun, mampu kreatif dan inovatif, bisa berpikir secara integratif dan konseptual, punya kepekaan sosial dan lain sebagainya?

Tapi yang dapat saya tangkap, sekalipun mengatakan bahwa manusia yang dikehendaki Soedjatmoko itu “nyaris tak ada” di dunia ini, Dzamiati Sari berupaya optimis bahwa ada syarat supaya masyarakat dapat menuju dan memenuhi yang ideal tersebut. Dzamiati Sari mengajak kita “memastikan seluruh proses penciptaan teknologi dan penggunaannya, mesti memuat prinsip keadilan sosial dan ekologis.”

Habiburrachman berbicara tentang bagaimana Soedjatmoko menganalisa masa depan Indonesia abad ke-21 lewat pemikirannya “Menghadapi Masa Depan: Renungan Tentang Masalah Sosial-Politik, Budaya dan Lingkungan Internasional” pada tahun 1988. Di sini kita dapat menelisik ketangkasan Soedjatmoko melihat bagaimana teknologi merasuk dalam setiap sendi kehidupan kita pada masa lalu dan pengaruhnya hari ini. Bermula dari penggunaan ilmu yang semakin pesat di negara-negara maju dan berdampak kepada negara-negara berkembang dalam berbagai bentuk.

Di sini Soedjatmoko melakukan hipotesa selayaknya yang dikerjakan seorang ilmuwan. Seorang ilmuan tampak seakan-akan sedang melakukan ramalan, tapi sebenarnya ia sedang berhitung dengan  kemungkinan-kemungkinan yang ada dan rasional. Habiburrachman melihat ekstrapolasi yang dikerjakan Soedjatmoko. Ia menjadi “teknik perluasan suatu masalah untuk memindai probabilitas di masa depan.” Melalui ini Habiburrachman kembali bertanya kepada kita semua, untuk siapa sebenarnya kemajuan teknologi yang kita alami hari ini?

Pembicara kedua, Mega Ayu Lestari dan Ulfa Ulinnuha membawa kembali semangat pemikiran Soedjatmoko ketika mereka membicarakan perkembangan teknologi sampai krisis ekologi hari ini. Kedua pembicara menyelaraskan kembali pemikiran Soedjatmoko bahwa kebudayaan sangat penting sebagai dasar pembangunan, termasuk perkembangan teknologi. Sesungguhnya hal inilah yang hendak ditekankan oleh kedua pembicara, melihat dampak-dampak dari pembangunan hingga krisis ekologi.

Pembicara ketiga, Lambertus Alfred mengangkat pemikiran Soedjatmoko tentang konflik untuk melihat konflik panjang yang terjadi di Papua selama ini. Lambertus Alfred mengambil fokus berdasarkan tulisan “Pola Konflik Bersenjata di Dunia Ketiga” karya Soedjatmoko.

Melalui pemaparan Lambertus Alfred kita melihat ada enam pola konflik di dunia ketiga yang dipaparkan oleh Soedjatmoko. Pola tersebut adalah: konflik menyangkut batas-batas nasional; konflik dengan atau di antara kelompok-kelompok minoritas; konflik menyangkut masalah penentuan nasib sendiri; perselisihan menyangkut masalah pemerataan di dalam atau antar negara/kawasan; konflik sistemik; dan konflik karena salah perhitungan.

Keenam pola yang dikemukakan oleh Soedjatmoko sejatinya selaras dengan apa yang terjadi di Papua hari ini. Pada pola konflik kedua (konflik dengan atau di antara kelompok-kelompok minoritas) misalnya, kita dapat melihat bahwa pergesekan dan sentimen antara kelompok masyarakat dapat memicu konflik yang nyata. Dalam makalahnya, Lambertus Albert juga menambahkan bahwa “Situasi bertambah menarik karena di luar wilayah Papua sentimen terhadap minoritas Papua juga terjadi karena alasan-alasan yang sepenuhnya stigma belaka.”

Dari seluruh materi yang disampaikan pembicara, saya menangkap sesuatu yang samar-samar dibicarakan di luar tema diskusi utama, yakni terminologi kemanusiaan dalam tulisan-tulisan Soedjatmoko. Di bagian awal uraian ini saya telah berkata bahwa yang selalu menjadi rumusan para pemikir Indonesia selama masa transisi dari pra-Indonesia menuju Indonesia memanglah niscaya tentang kemanusiaan. Ia adalah subyek yang tak bisa luput dari pemikiran-pemikiran yang berkembang di Indonesia, terutama sejak awal abad 20.

Yang saya tangkap secara halus dan tak langsung dari uraian seluruh pembicara adalah bagaimana Soedjatmoko memberi penekanan bagaimana semestinya manusia Indonesia menghadapi tantangan zaman. Karena kita niscaya akan menghadapi perubahan teknologi yang dalam penglihatan seorang Soedjatmoko benar belaka memiliki dua mata pisau: satu hal memang untuk memanusiakan, tetapi apabila penggunaannya tidak tepat, di sisi lain dapat menyingkirkan manusia yang tak tercakup  oleh perkembangan itu sendiri.

Pada titik inilah bagi saya pembicaraan dalam diskusi Soedjatmoko: Pengetahuan, Pembangunan dan Masa Depan Indonesia menjadi relevan. Persoalan subyek dan kemanusiaan bagi saya selalu punya pertemuan, persilangan maupun perselisihan pada setiap pemikiran di Indonesia. Para sastrawan masa Poedjangga Baroe, misalnya, hendak melawan “keterkungkungan” dari masa lalu.  Lihatlah secara simbolik dari sampul majalah tersebut. Ada sosok bayangan yang meninggalkan tubuhnya. Atau humanisme yang diperjuangkan oleh kaum kiri yang memperjuangkan manusia Indonesia lepas dari keterkungkungan kolonialisme. Hal ini tentu saja dapat kita lihat dari tulisan-tulisan Mas Marco Kartodikromo hingga Pramoedya Ananta Toer.

Sementara dalam pemikiran-pemikiran Soedjatmoko yang dibahas dalam diskusi ini saya melihat dan merasa secara tak langsung bahwa yang akan menjadi “keterkungkungan” adalah pengetahuan, pembangunan dan masa depan itu sendiri. Maka dari itulah sebabnya Soedjatmoko kerap menekankan (berulang kali) kembali kebudayaan dan kesadaran sejarah sebagai dasar, agar pembangunan dan pengetahuan tetap bernilai manusiawi dan tak merugikan bagi pihak lain di kemudian hari. Saya harap terma-terma ini yang akan dielaborasi lebih jauh dalam pembicaraan-pembicaraan tentang sumbangsih pemikiran Soedjatmoko selanjutnya.

Penulis

Alpha Hambally (Medan, 26 Desember 1990) menamatkan pendidikan di Jurusan Fisika, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS). Ia pernah meraih Juara 1 Lomba Menulis Feature di buruan.co. Tulisannya berupa cerita pendek, puisi, maupun esai pernah dimuat di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Riau Pos, Batam Pos, Pikiran Rakyat, buruan.co dan panditfootball.com. Puisinya pernah dibukukan di dalam kumpulan puisi Riau Pos yaitu Bendera Putih Untuk Tuhan (2014) dan Pelabuhan Merah (2015). Cerpennya dibukukan di dalam Cerpen Terbaik Tempo: Setan Becak, Ayoveva, hingga Chicago May (2017). Adapun esainya termaktub di dalam Membaca Ulang Max Havelaar (2019). Ia sekarang tinggal dan bekerja lepas sebagai penulis dan penyunting di Jakarta.